Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.44. ISLAM DI INDONESIA DAN POTENSINYA                (2/2)
       SEBAGAI SUMBER SUBSTANSIASI IDEOLOGI DAN ETOS NASIONAL
 
Oleh Nurcholish Madjid
 
PERAN HISTORIS WARGA YANG BERSEMANGAT KEISLAMAN
 
Partisipasi  warga  Indonesia yang bersemangat Keislaman dalam
perjuangan  untuk  pertahanannya  tentu   sangat   menentukan,
sehingga  para  pendiri  Republik  ini  secara  arif bijaksana
mengenangnya  dengan   mendirikan   masjid   monumen   Syuhada
(Pahlawan)  dan  Istiqlal  (Kemerdekaan).  Dengan  jelas kedua
monumen   itu   melambangkan    pengakuan    tentang    adanya
Keindonesiaan   dengan  Keislaman,  serta  antara  kemerdekaan
dengan peran besar warga negara  yang  bersemangat  Keislaman.
Hal  itu  akan tetap demikian tanpa bisa diubah lagi, meskipun
mungkin peran warga negara dengan semangat Keislaman itu dalam
fase-fase   yang   lebih   memerlukan   keahlian   teknis  dan
pengelolaan (managerial) sangat di bawah proporsi. Tetapi jika
kita  mengetahui  bahwa  kurangnya  peran mereka di bidang ini
ialah karena rendahnya  atau  malah  tidak  adanya  pendidikan
(modern, yakni, Belanda) pada mereka dibandingkan dengan warga
lain yang lebih "beruntung", maka  sesungguhnya  adalah  suatu
ironi  jika  kita  tidak justru menunjukkan sikap penuh hormat
kepada mereka. Sebab tidak adanya  pendidikan  modern  Belanda
pada  mereka  adalah  justru  akibat  patriotisme  mereka yang
berkobar-kobar, yang  membuat  mereka  selalu  menempuh  jalan
tidak  kenal  kompromi  terhadap Belanda, termasuk tidak kenal
kompromi dalam bidang pendidikan dan budaya pada umumnya.  Dan
keadaan   itu  menjadi  lebih  parah  lagi  karena  pemerintah
kolonial justru bersikap diskriminatif terhadap  mereka,  yang
secara   sengit   mengingkari  hak-hak  mereka,  termasuk  dan
terutama hak untuk memperoleh  pendidikan  yang  wajar.  Warga
negara  yang bersemangat Keislaman itu sedikit tertolong untuk
suatu jangka waktu tertentu oleh  bergabungnya  dengan  mereka
sejumlah kecil warga yang berpendidikan Belanda -karena mereka
datang dari keluarga dengan latar belakang sosio-kultura  yang
diuntungkan dan disenangi (favourable) dalam sistem masyarakat
kolonial  Hindia  Belanda.  Tetapi  karena  bagaimanapun  juga
proses  itu  kurang wajar, maka secara tidak tertolong hal itu
menimbulkan problem  legitimasi  kepemimpinan  intern  lembaga
yang menghimpun warga bersemangat Keislaman itu, dengan akibat
rongrongan atas pertumbuhan dan pengembangan kemampuannya. Dan
karena   ketidakwajaran  itu  ibaratkan  sistem  pembudidayaan
tanaman melalui okulasi, maka justru setelah pohon  itu  besar
kemungkinan patah batang dan tumbang semakin besar, dan memang
begitulah yang terjadi dengan keprihatinan semua pihak.  Tapi,
betapapun,  karena  sifat  dan  fungsi  warga yang bersemangat
Keislaman itu sebagai tulang punggung dan inti  (core)  sistem
kemasyarakatan  (societal  system) Indonesia, maka lambat atau
pun cepat mereka akan mewujudkan peran  itu  di  semua  bidang
kehidupan,  sambil  untuk  sementara ini dan mungkin selamanya
akan  tetap  berfungsi  sebagai  reservoir  patriotisme   yang
sewaktu-waktu  maju ke depan memenuhi panggilan tanah air. Hal
ini barkali-kali telah terbukti (yang terakhir ialah panggilan
tanah  air  untuk  menghancurkan  kaum  komunis, yang kemudian
menghantarkan bangsa kita memasuki Orde  Baru  sekarang  ini).
Dengan  partisipasi  penuh  dalam  pendidikan modern dan dalam
semua  segi  kehidupan  nasional  lainnya,  para  warga   yang
bersemangat   keislaman   itu   sekarang  sedang  mengumpulkan
pengetahuan,  kemampuan  dan  pengalaman  teknis   yang   amat
diperlukan  bagi  terlaksananya peran pada tingkat yang lebih.
tinggi dan  menentukan  di  masa  datang.  Halangan  psikologi
politik   warga   bersemangat   keislaman   untuk  ikut  serta
sepenuhnya dalam pendidikan modern mulai sangat  menipis  baru
sejak  tahun  1950 berkat kesepakatan antara Menteri Agama, A.
Wahid Hasyim, dan  Menteri  P  dan  K,  Bahder  Djohan  (dalam
kabinet  Natsir  dari Masyumi) untuk mengadakan mata pelajaran
umum di sekolah-sekolah agama  dan  mata  pelajaran  agama  di
sekolah-sekolah  umum.  Kesepakatan  kedua  menteri  itu telah
terbukti menjadi  titik  tolak  proses  dan  perjalanan  kedua
sistem  pendidikan Indonesia ("madrasah" dan "sekolah") menuju
ke arah titik temu atau  konvergensi.  Dan  titik  temu  serta
konvergensi  itu  saat-saat  sekarang sudah mulai dengan jelas
menunjukkan  wujud  kongkritnya  seperti,   misalnya,   sangat
meningkatnya  kegairahan  kepada  Keislaman di lembaga-lembaga
pendidikan  umum  dan  tidak   lagi   terasa   asingnya   ilmu
pengetahuan  modern  di  lembaga-lembaga pendidikan Keislaman.
Jika kecenderungan ini berlanjut terus dengan baik, maka tidak
mustahil  Indonesia  akan  memiliki  sistem pendidikan tunggal
yang lebih efektif akibat terjadinya konvergensi  total  kedua
sistem pendidikan tersebut. Dan itu berarti bahwa sesungguhnya
hari-hari ini kita sedang  menyaksikan  berlangsungnya  proses
pertumbuhan   bangsa   kita   -melalui  segi  tertentu  sistem
pendidikan kita yang bersangkutan dengan rasa keabsahan menuju
kepada  fase  baru  perkembangan  nasionalnya dengan identitas
kultural yang lebih sejati dan menyiapkan pangkal  tolak  yang
kukuh  untuk  "lepas  landas"  (meminjam  ungkapan atau jargon
politik paling umum dewasa ini).
 
ISLAM DAN SUBSTANSIASI IDEOLOGI DAN ETOS NASIONAL
 
Telah dikemukakan bahwa  ideologi  nasional  Pancasila,  untuk
meminjam  ungkapan  Kiai Ahmad Shiddiq, adalah final berkenaan
dengan  fungsinya  sebagai  dasar  kehidupan   bernegara   dan
bermasyarakat  dalam  konteks kemajemukan Indonesia. Kefinalan
itu  juga  berkenaan  dengan  perumusan   atau   pengkalimatan
formalnya sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 46.
 
Kita  ketahui  bahwa  proses menuju kepada kefinalan itu telah
sempat menimbulkan polemik dan kontroversi  yang  tajam  dalam
masyarakat.  Kini  dengan  lega  hati  kita  menyaksikan bahwa
banyak sekali dari kekuatiran yang ada di  balik  polemik  dan
kontroversi   itu   ternyata   tidak   ada.   Bahkan  terhadap
tanda-tanda tentang adanya  perkembangan  yang  lebih  positif
daripada yang diduga semula.
 
Tetapi  untuk  memperoleh  agak lebih jauh dalam garis argumen
ini  dirasa  perlu  disinggung  beberapa  hal.   Banyak   dari
kekuatiran  di balik sikap enggan menerima kefinalan Pancasila
(dalam pengertian Kiai Ahmad Shiddiq  itu)  yang  timbul  dari
dugaan  bahwa  Pancasila  akan diarahkan kepada posisi sebagai
padanan (equivalent), jika bukannya malah saingan, bagi  suatu
agama.  Atau, lebih sederhananya, Pancasila "akan diagamakan",
menggantikan suatu agama atau  agama-agama  yang  ada.  Secara
common  sense  memang  segera  nampak oleh kebanyakan pengamat
kemustahilan gagasan serupa itu. Tetapi kenyataan  menunjukkan
bahwa  dugaan  yang mustahil itu telah pernah melatarbelakangi
polemik dan kontroversi  yang  seru.  Dan,  sebagaimana  telah
dikatakan,  ternyata kekuatiran itu samasekali tidak terbukti,
malah justru banyak timbul gejala yang lebih positif.
 
Adanya  kekuatiran  itu,  meskipun  akhirnya  ternyata   tidak
terbukti, sebenarnya dapat dipahami, mengingat berbagai trauma
ideologis-politis masa lalu yang dialami  oleh  sebagian  dari
masyarakat.   Tetapi   dari   sudut   pandangan   mereka  yang
bersemangat Keislaman, kekuatiran itu seharusnya tidak  pernah
terjadi,  tidak  saja  akhir-akhir  ini tapi juga di masa lalu
yang lebih jauh, kalau saja  terdapat  kesadaran  yang  mantap
bahwa  Pancasila  itu  dari  beberapa  fungsi dan kedudukannya
antara lain merupkan  titik  temu  (common  platform,  kalimah
sawa')  antara  berbagai  komunitas  kemasyarakatan  (societal
community) dalam bangsa kita,  terutama  komunitas  keagamaan.
Dan  sistem  keislaman,  pencarian  titik temu antara berbagai
agama yang berkitab suci seharusnya tidak merupakan hal  baru,
karena  hal itu telah menjadi perintah Allah kepada Rasul-Nya,
Muhammad saw:
 
Katakanlah olehmu, Muhammad: "Wahai para pengikut Kitab  Suci!
Marilah  kamu semua menuju kepada ajaran dasar kesamaan antara
kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali  Allah
-Tuhan  Yang  Maha  Esa,  dan  bahwa sebagian dari kita-sesama
manusia  -tidak  mengangkat   sebagian   yang   lain   sebagai
tuhan-tuhan  selain  Allah  Tuhan  Yang  Maha  Esa!" Tapi jika
mereka -para pengikut Kitab Suci itu- menolak maka  katakanlah
olehmu sekalian wahai kaum beriman, kepada para pengikut Kitab
Suci  itu:  "Bersaksilah  kamu   semua   bahwa   kami   adalah
orang-orang yang berserah diri -kaum Muslim". [3]
 
Jadi  dalam  firman  Ilahi  itu  dijelaskan,  pertama,  adanya
perintah mencari titik  temu  antara  para  penganut  berbagai
agama  berkitab  suci; kedua, titik temu itu ialah Tawhid atau
paham Ketuhanan Yang Maha Esa (Monoteisme); ketiga, Tawhid itu
menuntut  konsekwensi  tidak  adanya pemitosan sesama manusia;
atau sesama mahkluk; keempat, jika usaha menemukan titik  temu
itu  gagal  atau  ditolak, maka masing-masing harus diberi hak
untuk  secara  bebas  mempertahankan   sistem   keimanan   yan
dianutnya.
 
Pandangan  bahwa  Tawhid  atau  paham  Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan prinsip paling dasar yang mempertemukan  agama-agama
dalam keasliannya dengan sangat kukuh menjadi pandangan sistem
keislaman. Ini, misalnya, ditegaskan dalam firman  Allah  yang
menjelaskan bahwa ajaran pokok para Nabi dan Rasul ialah bahwa
mereka tidak menyembah sesuatu  apapun  kecuali  Allah,  Tuhan
Yang Maha Esa; "Dan Kami -Tuhan- tidak pernah mengutus seorang
Rasul pun kecuali Kami  wahyukan  kepadanya  bahwasanya  tiada
Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu semua akan Daku saja."
[4]
 
Sekali lagi, dalam firman itu titik  temu  antara  agama-agama
yang  diperintahkan  Tuhan  untuk mengajak para pemeluk menuju
kepadanya ialah  paham  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Sepanjang
mengenai  Pancasila,  adalah  tepat  bahwa  sila  pertama itu,
menurut penyumbang pikirannya yang utama, Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua  Umum Muhammadiyah saat itu, dimaksudkan sebagai Tawhid.
Lebih  lanjut,  mengikuti  garis  argumen  dalam  ilmu   Ushul
al-Fiqh,  sesudah  satu  titik  temu  yang  paling pokok telah
disetujui, kemudian masih dapat disetujui pula titik temu lain
yang  dipandang  baik  oleh semua, maka tentulah hal itu lebih
utama (afdlal). Sebuah qa'idah mengatakan: "Ma kana aktsara fi
'lan  kana  aktsara  fadl lan." (Sesuatu -dari perbuatan baik-
semakin banyak dikerjakan, semakin banyak pula keutamaannya).
 
Di depan telah ditandaskan sifat  Pancasila  sebagai  ideologi
terbuka,  sesuai  dengan rancangannya untuk landasan kehidupan
sosial-politik Indonesia yang plural dan  modern.  Suatu  fase
kemantapan  nasional amat penting telah terjadi di negeri kita
berkenaan dengan kefinalan Pancasila  ini,  yaitu  diterimanya
ideologi   itu   sebagai   satu-satunya  asas  bagi  kehidupan
bermasyarakat  dan  bernegara  dalam  konteks  pluralisme  dan
keterbukaan.  Tetapi  Presiden  Soeharto  sendiri mengingatkan
bahwa kemantapan saja tidak cukup. Beliau katakan kepada  para
peserta  Kongres  dan  Seminar  HIPIS  di  Ujungpandang  1986:
"Landasan ideologi yang mantap saja masih belum cukup,  tetapi
harus membangun dan mengisinya dengan kemajuan dan peningkatan
kesejahteraan lahir batin.  Hal  itu  berarti  bahwa  gambaran
mengenai  masyarakat  hari  esok  yang  berlandaskan Pancasila
masih perlu kita jabarkan  dan  kita  kembangkan  lebih  jauh"
(garis bawah dari kami).
 
Kutipan  itu  memberi  kejelasan  singkat  tentang  apa  makna
pandangan bahwa  Pancasila  adalah  sebuah  ideologi  terbuka.
Yaitu  bahwa  ia tidak memberikan penafsiran secara detail dan
nyata "sekali untuk selamanya," tanpa bisa  diubah-ubah.  Jadi
ia   tidak   mengizinkan   adanya   indoktrinasi  (yang  telah
diperlihatkan contohnya dalam  negeri-negeri  komunis  sebagai
kegagalan  total).  Melainkan  Pancasila  sebagai  nilai-nilai
dasar harus senantiasa  diusahakan  merinci  tuntutan-tuntutan
pokoknya dengan menghadapkan setiap konsep dan gagasan tentang
makna idealnya kepada kenyataan-kenyataan masyarakat kita yang
senantiasa  berubah  dan  berkembang  secara dinamis. Dan jika
diharapkan hasil yang optimal dari proses ini,  maka  dituntut
adanya  sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi ruang
bagi  adanya  kebebasan   (yang   bertanggung   jawab)   untuk
menyatakan     pendapat     dan     untuk     menguji     atau
mengeksperimentasikan  gagasan  dan  ide   dalam   masyarakat.
Digariskan  dalam  QS.  al-'Ashr,  tidaklah cukup bagi manusia
untuk lepas dari kehinaan dan kesengsaraan hanya dengan adanya
komitmen  pribadi  melalui  iman dan usaha mewujudkan komitmen
pribadi itu secara  sosial  melalui  perbuatan,  melainkan  ia
masih  perlu menempatkan dirinya dalam tatanan masyarakat yang
membuka kemungkinan adanya kebebasan saling menyatakan tentang
apa  yang baik dan saling mengingatkan tentang keharusan tabah
dan ulet dalam usaha bersama menciptakan kehidupan  yang  baik
itu.
 
Di  antara  berbagai  kenyataan  sosial  di  Indonesia  ialah,
sebagaimana telah dijabarkan, kenyataan  Islam  sebagai  agama
rakyat terbanyak. Ini mengakibatkan adanya dua hal yang saling
terkait dengan erat.  Pertama  ialah  keharusan  memperhatikan
aspirasi  mereka  itu,  yang tadi telah dimukakan sebagai inti
sistem kemasyarakatan kita. Mencoba  mengabaikan  mereka  akan
merupakan   tindakan   melawan  arus  realita,  dan  karenanya
berbahaya. Adalah dalam perspektif  ini  kita  harus  memahami
pandangan  yang pernah dikemukakan Bapak Ismail Saleh, Menteri
Kehakiman, tentang "Eksistensi Hukum  Islam  dan  Sumbangannya
terhadap  Hukum  Nasional"  (Kompas, Jakarta, 1, 2, dan 3 Juni
1989). Juga dari  sudut  pandangan  itu  kita  dapat  mengerti
pendapat  Dr.  Baharuddin Lopa bahwa peradilan di Indonesia di
masa depan akan lebih banyak berdasarkan  ajaran-ajaran  Islam
(The Jakarta Post), Jakarta, 6 Oktober 1987).
 
Namun  akibat  kedua  adalah jauh lebih berat yaitu bahwa kaum
muslimin memikul tanggung jawab pembinaan yang  sangat  besar,
yang  tidak  cukup  hanya  dengan komitmen yang berkobar saja,
tetapi menuntut keahlian  yang  tinggi,  baik  tentang  ajaran
Islam sendiri maupun tentang konteks ruang dan waktu Indonesia
modern.
 
CATATAN
 
 1. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam Kerajaan
    Hindu Vija yanagar yang meskipun bertahan dengan
    Hinduismenya namun menyadarkan diri dari tentara Muslim
    dan menggunakan tata cara Islam dalam lingkungan istana.
    (Lihat Marshall Hodson, The Venture of Islam, 3 jilid
    (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
    2, h. 532).
 
 2. Oleh karena itu sering nampak adanya hal-hal yang
    anomalous atau menyimpang tentang India dan Indonesia
    dalam kaitannya dengan Islam ini. Disebabkan oleh
    perkembangan sejarahnya yang paling akhir sekitar
    masa-masa pembentukan negara, Indonesia dengan mayoritas
    penduduk Muslim sering menunjukkan sikap-sikap terhadap
    Islam yang mengandung stigma politik. Bagi India, Islam
    tidaklah mengandung serupa, selain kaitannya dengan
    masa-masa partisi yang melahirkan Pakistan (kemudian
    kelak juga Bangladesh), namun lambat laun India mampu
    melihatnya sebagai lebih banyak masalah kebangsaan,
    bukan keagamaan. Karena itu ketika pada masa permulaan
    pembentukannya, OKI (Organisasi Konferensi Islam) tidak
    mengikutkan India sebagai anggota (padahal mempunyai
    jumlah kaum Muslim yang tidak kurang dari 80 jutaan),
    Perdana Menteri Indira Gandhi waktu itu mengajukan
    proses dan menuntut agar India diterima sebagai anggota.
    Tapi pengalaman Indonesia sama sekali lain. Menteri Luar
    Negeri Adam Malik dibuat repot menerangkan bahwa
    Indonesia bukanlah anggota OKI, melainkan hanya sebagai
    peninjau! Ini adalah karena adanya suara-suara keberatan
    atas keanggotaan Indonesia dalam OKI, sekalipun
    mayoritas penduduknya penganut Islam. Tentu saja
    sekarang persoalannya sudah rampung: India tetap tidak
    masuk OKI, dan Indonesia menjadi anggota penuh dengan
    peranan semakin penting di dalamnya.
 
 3. QS. Ali 'Imran 3:64.
 
 4. QS. al-Anbiya/2 1:25.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team