Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.43. MAKNA MODERNITAS DAN TANTANGANNYA TERHADAP IMAN   (2/2)
 
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
 
Kita  telah  melihat bahwa sumber peradaban Barat adalah rasio
yang menonjol. Dengan rasio yang kuat itu  dapat  dikembangkan
ilmu  pengetahuan  dan  teknologi yang kemudian menjadi sarana
untuk  menciptakan  kehidupan  yang  sejahtera  untuk   rakyat
banyak.   Melalui   rasio   juga   telah   dikembangkan  nilai
kemanusiaan  sehingga  rakyat  dapat  memperoleh   kedaulatan.
Tetapi  kita juga melihat bahwa kalau rasio terlalu berlebihan
dikembangkan dan ditonjolkan maka akan terjadi  kelemahan  dan
kekurangan    yang    merugikan.    Baik    berupa   atheisme,
individualisme,   kapitalisme,   maupun    imperialisme    dan
kolonialisme.
 
Untuk  memberikan ukuran apakah Pancasila telah berhasil, maka
harus tercipta masyarakat yang adil dan makmur,  lahir  batin,
di  Indonesia. Itu berarti bahwa kita perlu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan  luas  dan  mendalam,  karena
hanya  itu  yang  merupakan jaminan bagi kesejahteraan rakyat.
Itu berarti bahwa kita  juga  harus  mengembangkan  penggunaan
rasio  dalam  kehidupan kita, karena tanpa itu tak mungkin ada
kemajuan  dalam  ilmu   pengetahuan   dan   teknologi.   Namun
pengembangan  penggunaan rasio tidak boleh berlebihan sehingga
menimbulkan segi-segi negatif  yang  telah  terjadi  di  dunia
Barat.   Sebab   itu   akan  bertentangan  dengan  nilai-nilai
Pancasila. Pengembangan dalam  penggunaan  rasio  tidak  boleh
menimbulkan ateisme, oleh karena itu jelas bertentangan dengan
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.  Peningkatan  penggunaan  rasio
penting  untuk  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan teknologi
dalam kalangan rakyat banyak dan dengan itu meningkatkan  pula
harkat  dan  derajat  manusia,  hal mana sesuai dengan prinsip
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh  hikmat  kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Akan  tetapi  tidak  boleh  mengakibatkan  individualisme  dan
liberalisme  yang  bertentangan  dengan semangat gotong-royong
dan  musyawarah  mufakat  yang  terkandung  dalam   Pancasila.
Penggunaan  rasio  perlu  membentuk  pandangan yang menghargai
benda atau materi, tapi tidak boleh menimbulkan  materialisme.
Dan  jelas  tidak  boleh berakibat timbulnya faham kapitalisme
dan dominasi terhadap pihak lain.
 
Jadi pengembangan rasio diperlukan sekali, tetapi tidak  boleh
berlebihan. Untuk menjaga agar tidak berlebihan itu diperlukan
harmoni antara rasio dan rasa. Itu berarti bahwa seni,  agama,
dan kegiatan lain yang memperhalus rasa perlu diusahakan dalam
modernitas Pancasila.
 
Karena kita menghendaki modernitas untuk meluhurkan  kehidupan
bangsa  dan  Pancasila  sendiri  adalah pandangan yang modern,
maka aspek-aspek kehidupan bangsa yang tidak cocok lagi dengan
keperluan  serta  tuntutan masa kini harus dapat ditinggalkan.
Mungkin saja aspek-aspek itu  mempunyai  fungsi  yang  berguna
atau bahkan penting bagi kehidupan bangsa di masa lampau. Akan
tetapi itu tidak dengan sendirinya berlaku untuk masa kini dan
masa  depan.  Bahkan ada yang tadinya bersifat berguna, tetapi
sekarang malah bersifat merugikan.  Contoh  yang  baik  adalah
aspek  feodal  dalam  kehidupan bangsa; di masa lalu aspek itu
berguna  dalam  hal  kepimpinan  dalam  masyarakat  Indonesia,
mengingat kondisi sosial bangsa Indonesia. Tapi sekarang kalau
aspek feodal dilanjutkan,  maka  itu  justru  merugikan  dalam
perkembangan  bangsa  dalam  berbagai  hal. Karena itu hal-hal
yang tidak berguna lagi atau bahkan merugikan,  seperti  aspek
feodal,   harus  dapat  diidentifikasikan  dengan  cermat  dan
kemudian  ditinggalkan.   Bagaikan   benda-benda   kuno   yang
dimasukkan di museum.
 
Sebaliknya  modernitas  menuntut agar kita dapat mengembangkan
kemampuan dan kebiasann  baru  yang  diperlukan  sekali  untuk
menjamin kehidupan bangsa, karena tadinya belum ada atau belum
cukup berkembang. Sebab  tanpa  kemampuan  dan  kebiasaan  itu
bangsa  kita  tidak  akan  mampu  untuk  menghadapi  dunia  di
sekeliling  kita  tidak   dapat   menghasilkan   kesejahteraan
lahir-bathin yang kita inginkan.
 
Contoh  yang  baik tentang itu adalah perlunya kemampuan untuk
mengembangkan sikap, dengan komitmen penuh kepada  segala  hal
yang  kita  kerjakan,  sehingga melahirkan kesungguh-sungguhan
niat untuk senantiasa menghasilkan hal yang paling baik.  Pada
waktu  ini  umumnya  orang  Indonesia  cukup kuat dengan hasil
seadanya dan asal jadi. Kita perlukan kebiasaan  baru  seperti
umpamanya  hidup  berdisiplin,  tahu  waktu,  hidup  hemat dan
cermat. Ini semua merupakan hal yang belum  menjadi  kebiasaan
untuk  rata-rata  orang  Indonesia.  Bahkan  ada  bahaya bahwa
materialisme yang merupakan dampak dari peradaban Barat justru
mengakibatkan   kebiasaan   buruk  seperti,  hidup  boros  dan
memperkuat  kebiasaan  lama  yang  tidak  cocok  lagi  seperti
"alon-alon  asal  kelakon."  Meskipun  di  dunia Barat sendiri
tidak   ada   kebiasaan   demikian   yang   ditimbulkan   oleh
materialisme.
 
Modernitas tidak a priori menghendaki hapusnya tradisi. Bahkan
tradisi yang masih bermanfaat untuk  masa  kini  justru  lebih
ditingkatkan  penggunaannya  seperti  umpamanya gotong-royong.
Akan  tetapi  modernitas  tidak  menghendaki  tradisionalisme,
yaitu  sikap  yang  mempertahankan dengan gigih segala tradisi
masa lampau, tanpa menilai apakah tradisi itu masih berguna di
masa  kini  atau  memerlukan  perubahan  agar  tetap  berguna.
Modernitas menghendaki dinamika,  oleh  karena  itu  merupakan
hakikat  alam  semesta. Sedangkan tradisi yang mempunyai nilai
berlanjut  menjadi  identitas  bangsa  yang   menjadi   sumber
kekuatan untuk kehidupan dinamis itu.
 
Modernitas   Pancasila   tidak  dapat  membebaskan  diri  dari
pengaruh dan dampak peradaban Barat yang agresif.  Memang  ada
unsur-unsur  peradaban  Barat  yang bermanfaat bagi modernitas
Pancasila. Akan tetapi modernitas  Pancasila  bermaksud  untuk
menggerakkan  Renaissanse  atau  kelahiran  kembali  Indonesia
sebagai pembuka pintu peradaban Indonesia sendiri.
 
TANTANGAN MODERNITAS TERHADAP IMAN
 
Adakah  tantangan   modernitas,   dan   khususnya   modernitas
Pancasila,  terhadap  iman?  Apakah  kepercayaan dan keyakinan
kita  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa   akan   terganggu   oleh
modernitas?  Dan  karena  iman merupakan bagian dari kehidupan
kita beragama, apakah  modernitas  menimbulkan  kesukaran  dan
pertentangan  dengan kehidupan beragama kita? Kalau modernitas
Pancasila berjalan dengan baik, yaitu sesuai dengan  apa  yang
diisyaratkan  Pancasila  dan  seperti  yang  telah digambarkan
secara singkat dalam uraian sebelum ini,  dan  di  pihak  lain
pelaksanaan   iman   serta  kehidupan  beragama  pada  umumnya
dilakukan dengan baik,  maka  tidak  ada  pertentangan  antara
modernitas  dan  iman  dengan kehidupan beragama pada umumnya.
Bahkan iman merupakan sumber motivasi yang kuat  sekali  untuk
menjalankan   modernitas   Pancasila.  Namun  kalau  di  pihak
modernitas maupun  di  pihak  iman  terjadi  pelaksanaan  yang
kurang  baik,  maka  akan terjadi kesukaran dan bahkan terjadi
pertentangan antara yang satu dengan yang lain.
 
Kalau kehidupan beragama diliputi tradisionalisme  yang  kuat,
sehingga  pelaku  agama  tidak  dimungkinkan  dan bahkan tidak
diperbolehkan berpikir, maka akan terjadi pertentangan  antara
modernitas  dan kehidupan beragama. Hal itu telah terjadi juga
di Eropa Barat pada abad ke-15 dan abad ke-16,  ketika  gereja
Katholik  menganggap sebagai sikap dan tindakan murtad apabila
ada orang  melakukan  pemikiran  tentang  gejala  alam.  Orang
diharuskan  menerima saja apa yang telah dikemukakan oleh para
pemuka agama. Dan barang  siapa  yang  melanggarnya  dikenakan
hukuman,  bahkan ada yang dihukum mati dalam api. Cukup banyak
orang-orang yang ingin lebih mendalami ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa  dan  yang  masih  kokoh  mengakui keesaan dan kekuasaan
Tuhan, harus naik tempat hukuman untuk dibakar  karena  mereka
berpendirian  kokoh sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa mereka
tidak melanggar dan tidak menentang kehendak-Nya.
 
Kita semua mengetahui bahwa Islam adalah agama  yang  rasional
dan  mendorong untuk berpikir rasional. Itu sebabnya peradaban
Islam di masa lampau melahirkan  ilmu  pengetahuan  matematika
dan  fisika yang kemudian juga diambil oleh dunia Barat. Namun
sekalipun demikian juga kita tidak dapat menghindari kenyataan
bahwa  di  banyak lingkungan telah terjadi kehidupan peradaban
Islam yang diliputi oleh tradisionalisme  yang  kuat.  Mungkin
karena  itu  pula  belum  ada bangsa yang menganut agama Islam
yang berhasil menciptakan  peradaban  yang  dapat  mengimbangi
paradaban  Barat,  sejak peradaban Islam di masa lampau surut.
Jadi   tantangan   pertama   adalah   tradisionalisme    dalam
pelaksanaan ajaran agama.
 
Sikap  fanatik  adalah  hasil  atau akibat dari pandangan yang
sempit dan picik. Agama Islam  menganjurkan  para  penganutnya
untuk  tidak  berpikiran sempit dan picik, malahan mengajarkan
untuk berpandangan luas. Jadi Islam  tidak  membenarkan  sikap
fanatik.  Namun  dalam kenyataan kita tidak dapat menutup mata
terhadap berbagai sikap kefanatikan dalam lingkungan  penganut
Islam.  Mereka  tidak  dapat  membedakan  antara  ketaatan dan
fanatisme,  oleh  karena  mereka  berpandangan  sempit.  Sikap
fanatik  itu  juga  mengganggu  modernitas,  oleh  karena akan
membatasi  daya  gerak  bangsa.  Memang  modernitas  Pancasila
memerlukan  sikap hidup penuh disiplin, tapi tidak sama dengan
sikap fanatik. Sebenarnya para penganut Islam yang taat  dapat
memperkuat sikap disiplin bangsa, kalau disadari apa arti taat
dan disiplin.  Akan  tetapi  orang  Islam  yang  fanatik  akan
menimbulkan  banyak  hambatan dan kesukaran dalam perkembangan
bangsa, seperti juga telah kita alami  dalam  sejarah  bangsa.
Maka   tantangan  kedua  dalah  pandangan  hidup  sempit  yang
berakibat pada sikap yang fanatik.
 
Agama Islam mengajarkan kepada manusia untuk hidup dengan baik
di dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang baik pula
di akhirat. Islam  tidak  pernah  mengatakan  bahwa  kehidupan
manusia   harus   dipusatkan  untuk  mempersiapkan  diri  bagi
kehidupan di akhirat saja. Namun dalam kenyataan kita  melihat
bahwa  keimanan dan kehidupan beragama kurang ditujukan kepada
kehidupan di dunia. Akibatnya adalah bahwa kurang ada dinamika
untuk memperoleh kemajuan dalam kehidupan. Tidak ada niat yang
kuat  untuk  mengembangkan  ilmu  pengetahuan  dan   teknologi
modern,  kurang pula usaha untuk menciptakan kehidupan ekonomi
yang   kuat.   Jadinya   banyak   umat   Islam   hidup   dalam
keterbelakangan   dan   kemiskinan  kemudian  dalam  kehidupan
sehari-hari juga kurang ada perhatian  kepada  kebersihan  dan
pemeliharaan  lingkungan.  Seakan-akan  sudah  kurang  perduli
kepada  kehidupan  di  dunia  ini.  Tidak  mengherankan  bahwa
kehidupan  yang  demikian  menghasilkan  berbagai penyakit dan
kematian dalam usia muda. Manusia tidak  mensyukuri  kemurahan
Tuhan  Yang  Maha  Kuasa berupa kehidupan dan alam lingkungan.
Sikap demikian tidak mendukung modernitas Pancasila. Sedangkan
sebenarnya   ajaran-ajaran   Islam  dapat  dipergunakan  untuk
membentuk  masyarakat  yang  mengejar  ilmu  pengetahuan   dan
teknologi,  rajin bekerja untuk membuat kehidupan dengan hasil
yang memadai, menciptakan keindahan  dan  kemajuan  di  dunia.
Seperti  yang  telah  dibuktikan  oleh peradaban Islam di masa
lampau. Itulah tantangan ketiga untuk kehidupan beragama.
 
Ajaran Islam tentang sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan  tentang  takdir Ilahi adalah ajaran positif. Bukan ajaran
yang  menghendaki  manusia  menjadi  fatalistis.  Namun  dalam
kenyataan  kita  dapatkan  cukup  banyak  sikap  fatalistis di
lingkungan umat Islam dewasa ini. Manusia menganggap tidak ada
gunanya  mengembangkan  prakarsa  dan  inisiatif,  oleh karena
berpendapat semua toh sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kehidupan  menjadi  pasif  tanpa  dinamika  yang  memungkinkan
kemajuan. Sikap demikian merugikan modernitas Pancasila. Sebab
justru  dalam  modernitas  Pancasila diperlukan prakarsa lebih
banyak dari manusia Indonesia, sekalipun disadari bahwa segala
kesudahan  dari  prakarsa ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Soal prakarsa ini erat  hubungannya  dengan  faktor  geografis
dimana bangsa Indonesia hidup berkembang. Ada orang mengatakan
bahwa  karena  kita  lahir  dan  dibesarkan  dalam  lingkungan
geografis  yang  panas,  dengan  alam  yang subur makmur, maka
manusia Indonesia seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi  malas
dan  kurang  minat  untuk  mencapai  kemajuan. Sebab itu sudah
ditakdirkan untuk dikuasai dan didominasi  oleh  bangsa-bangsa
yang hidup di utara yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
yang keras yang menuntut perjuangan lahir-bathin  untuk  tetap
hidup.  Sudah  jelas  bahwa  pandangan demikian tentang takdir
untuk bangsa Indonesia adalah tidak benar.  Adalah  sepenuhnya
di  tangan bangsa dan manusia Indonesia, apakah ia mau menjadi
bangsa yang penuh prakarsa dan justru  memanfaatkan  kemurahan
Tuhan  yang dilimpahkan kepada kita untuk memperoleh kehidupan
yang maju dan sejahtera, atau menjadi bangsa yang malas  tanpa
banyak  prakarsa  karena  berpikir  bahwa  hidup ini toh mudah
dengan akibat dikuasai dan dikalahkan oleh bangsa-bangsa  lain
yang lebih giat dan malahan dapat memanfaatkan kemurahan Tuhan
yang sebenarnyaa  dilimpahkan  kepada  bangsa  Indonesia.  Ini
adalah  tantangan  keempat dan sangat mendasar untuk kehidupan
iman kita.
 
Sebaliknya modernitas Pancasila juga dapat berkembang ke  arah
yang  kurang  sesuai.  Kalau modernitas yang berkembang kurang
memperhatikan asas Pancasila dan melahirkan rasionalisme  yang
berlebihan, maka seperti di dunia Barat dapat terjadi atheisme
atau  sekurang-kurangnya  agnosticisme  (kurang  yakin  adanya
Tuhan   Yang   Maha  Esa).  Atau  timbul  materialisme,  yaitu
mendewa-dewakan benda, sehingga kurang  ada  perhatian  kepada
keimanan. Ini juga berakibat kepada kurangnya perhatian kepada
kelestarian dan pemeliharaan lingkungan. Alam  dianggap  hanya
merupakan   sumber  untuk  memperoleh  benda  yang  diinginkan
manusia, tanpa ada pertimbangan harus dipelihara  untuk  dapat
menjalankan  fungsi  itu  untuk jangka waktu yang lama. Kurang
perhatian kepada alam lingkungan itu  hakikatnya  adalah  pula
kurangnya  perhatian  kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dapat pula
timbul  individualisme  yang  mengagungkan  individu  di  atas
segalanya.   Tidak   ada   ingatan  sama  sekali  bahwa  Tuhan
menciptakan manusia sebagai makhluk sosial  yang  hidup  dalam
kebersamaan   dengan   manusia  lain.  Ini  selanjutnya  dapat
menimbulkan sikap hidup yang tidak peduli  terhadap  kehidupan
manusia  lain,  asalkan  kehidupannya sendiri atau golongannya
sudah baik. Ini mudah sekali mengakibatkan  sikap  eksploitasi
manusia  oleh  manusia (l'exploitation de l'homme par l'homme)
seperti yang terjadi pada masyarakat Barat pada abad ke 18 dan
19, dan juga menghasilkan imperialisme dan kolonialisme. Kalau
modernitas Indonesia sampai  menyeleweng  demikian  dan  dalam
kenyataan  jauh  sekali  dari tuntutan Pancasila, maka terjadi
pula  tantangan  yang  berat  terhadap  iman.   Manusia   yang
bergelimpangan  dalam  kekayaan  benda  dan  harta  lupa bahwa
segala hal itu hanya bersifat relatif dan lupa pula bahwa yang
mempunyai  nilai  mutlak hanya Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya
pula manusia yang  dikungkung  kemiskinan  akibat  kapitalisme
yang  merajalela  mudah  lupa  kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
akan  lebih  mudah  mengandalkan   penggunaan   kekuatan   dan
kekerasan  untuk  mendobrak kapitalis yang berkuasa. Akibatnya
adalah bahwa masyarakat tidak akan maju  karena  terus-menerus
diliputi kekacauan dan pergulatan.
 
Untuk  mencegah  terjadinya  hal-hal  itu, maka penting sekali
bahwa kita harus terus beriman secara  tepat  dan  menjalankan
kehidupan  beragama  menurut  ajaran  Islam  yang  sebenarnya.
Ketekunan dan  kesungguh-sungguhan  orang  yang  beriman  akan
membawa  manusia  Indonesia  menjadi  orang yang komitmen yang
kuat kepada tujuan hidupnya. Prakarsa yang  kuat  akan  timbul
untuk    membentuk   kemajuan   dalam   kehidupan.   Atheisme,
individualisme,  materialisme,  dan  sebangsanya  akan   dapat
dicegah   sehingga  modernitas  Indonesia  yang  benar  adalah
modernitas Pancasila. Iman yang kuat akan  mengangkat  manusia
Indonesia  untuk  dapat  mengadakan  reaksi  dan prakarsa yang
tepat terhadap lingkungan geografi yang kaya, sehingga  bangsa
Indonesia bagaikan anak orang kaya yang mandiri dan bukan anak
orang kaya yang manja.  Hilanglah  gambaran  tentang,  manusia
Indonesia  yang  malas,  yang  hidupnya jorok, yang tidak tahu
waktu, yang tidak dapat berdisiplin. Dan digantikan oleh citra
baru  manusia Indonesia yang giat bekerja dengan memperhatikan
mutu pekerjaannya, yang selalu  memperhatikan  kebersihan  dan
pemeliharaan  lingkungan  hidupnya, yang biasa mematuhi segala
ketentuan, yang pandai hidup bersama dengan orang  lain,  yang
hemat  hidupnya  dan  menghargai waktu. Kalau perkembangan itu
dapat terjadi, maka besar kemungkinannya bahwa modernitas  itu
dapat menghasilkan peradaban Indonesia dalam abad ke-21. Jelas
sekali bahwa peranan iman yang  dilakukan  dengan  tepat  amat
besar  peranannya  dalam  tercapainya  keadaan itu. Tergantung
kepada umat Islam Indonesia  yang  merupakan  bagian  terbesar
bangsa,  dan  terutama  para pemimpinnya, apakah hal itu dapat
terwujud. Kalau  itu  terjadi,  maka  sekaligus  Islam  timbul
kembali  sebagai  agama  yang  mendukung terwujudnya kehidupan
bangsa yang maju, sejahtera dan damai.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team