Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA            (3/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
KERANCUAN PENGERTIAN HADITS
 
Riwayat  di  atas  disebut  "hadits"  padahal yang diceritakan
adalah  perilaku  para  sahabat.   Para   ahli   ilmu   hadits
mendefinisikan  hadits  sebagai  "apa  saja  yang  disandarkan
(dinisbahkan)  kepada  Nabi  saw.  berupa  ucapan,  perbuatan,
taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas
tidak  menceritakan  hal  ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang
perilaku para sahabatnya.
 
Bila kita membuka kitab-kitab hadits,  segera  kita  menemukan
banyak  riwayat  di  dalamnya,  tidak berkenaan dengan ucapan,
berbuatan atau taqrir Nabi saw.  Sekedar memperjelas persoalan
di  sini,  dikutipkan  beberapa  saja diantaranya. Pada Shahih
Bukhari, hadits No. 117 menceritakan  tangkisan  Abu  Hurairah
kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak  disibukkan
dengan  urusan  ekonomi,  seperti  sahabat-sahabat  Anshar dan
Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw.  Untuk  mengenyangkan
perutnya,  menghadiri  majelis  yang tidak dihadiri yang lain,
dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.
 
Perhatikan  Bukhari  memasukkan  sebagai  salah   satu   kitab
haditsnya,   padahal  riwayat  ini  tidak  menyangkut  ucapan,
perbuatan atau  taqrir  Nabi  saw.  Hadits  yang  menceritakan
sahabat   disebut   hadits  mawquf  (istilah  yang  didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan
dengan  Nabi  saw.).  Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh
al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits  mawquf
dalam Shahih Bukhari.
 
Mungkin  bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih
dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah
"apa  saja  yang  disandarkan  (dinisbahkan)  kepada Nabi saw.
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak
dan  apa  saja  yang  dinisbahkan  kepada para sahabat." Namun
jangan terkejut kalau ahli  hadits  bahkan  menyebut  riwayat,
para  ulama  di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat
tentang para tabi'in yakni  ulama  yang  berguru  kepada  para
sahabat,   disebut   hadits   maqthu.  Dalam  Shahih  Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi  "Iman  itu  perkataan  dan
perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah  ucapan  para  ulama  di  berbagai
negeri  (lihat  Fath-u  'l-Bari  1:47). Karena itu menurut Dr.
Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa  saja  yang
disandarkan  (dinisbahkan)  kepada  Nabi  saw.  berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan  apa  saja
yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."
 
Sampai  di  sini  kita  bertanya  apakah  kita  sepakat dengan
definisi Dr. Atar.  Bila  ya,  harus  mengubah  anggapan  kita
selama  ini.  Ternyata  hadits  itu  tidak  semuanya berkenaan
dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah  saw.  Yang  paling
menyusahkan  kita  ternyata tidak semua hadits walaupun shahih
meriwayatkan sunnah Rasulullah saw.  Boleh  jadi  banyak  amal
yang  kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"
yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).
 
Salah satu contohnya adalah  hadits  yang  sering  disampaikan
kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada
kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada
ahli  mayit  dan  menyediakan  makanan  sesudah  penguburannya
termasuk meratap." Hadits  ini merupakan ucapan  'Abd-u  l-Lah
al-Bajali, bukan  ucapan  Bani  saw.  (lihat    Nayl al-Awthar
4:148). Demikian pula, kebiasaan  melakukan  adzan  awal  pada
shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada
hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman  Utsman
ibn 'Affan.  Ucapan  "al-shalat-u khair-un min al-nawm"  dalam
adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar
ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:
 
Dari  Jabir  ra:  Sesungguhnya  Ibnu  Zubair  melarang muth'ah
tetapi Ibn Abbas  memerintahkannya.  Ia  berkata:  Padaku  ada
hadits.  Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan
pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa,  ia  berkhotbah
kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul
ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini.  Ada
dua  muth'ah  yang  ada  pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku
melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah
perempuan.  Bila  ada  seorang  laki-laki  menikahi  perempuan
sampai waktu tertentu, aku  aakan  melemparinya  dengan  batu.
Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').
 
Hadits   ini   diriwayatkan   dalam   Sunnah   Baihaqi  7:206;
dikeluarkan juga  oleh  Muslim  dalam  shahihnya.  Hadits  ini
menceritakan  khotbah  sahabat  Umar yang mengharamkan muth'ah
yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai
ke  zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits
taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan  muth'ah
atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua.
 
Walhasil,  dengan  memperluas  definisi  hadits  sehingga juga
memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan
juga  sunnah  para  sahabat,  yang  tidak  jarang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan  definisi  hadits  ini
membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.
 
KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH
 
Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits
dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan  sunnah  sebagai
"apa  saja  yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa
ucapan, perbuatan, dan  taqrir,  yang  tepat  untuk  dijadikan
dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl
al-Tadwin, h.16)
 
Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua  hadits  mengandung
sunnah.  Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits
ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak
semua  ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat
sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya  sekarang:  kapan  perkataan,  perbuatan dan taqrir
Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?
 
Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar  Rasulullah
saw.  Batuk  tiga  kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah
kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam  hadits  itu  sebagai
sunnah?  Anda  berkata  tidak,  karena perbuatan Nabi saw. Itu
hanya kebetulan saja  dan  tidak  mempunyai  implikasi  hukum.
Batuk tidak bernilai syar'i.
 
Tetapi  bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan
apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud,  "Aku
melihatnya  menggerakkan  telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah
anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk
--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan
telunjuknya   tapi   tidak  mengerakkannya?"  (Nayl  al-Awthar
2:318). Banyak orang,  termasuk  para  ulama  yang  menyamakan
hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi
saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita
tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.
Membalikkan serbannya, sehingga bagian  dalam  serban  itu  di
luar  dan  sebalik.  Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan
serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan  disimpan  pada
bahu  sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada
bahu sebelah kanan. Jumhur ulama  termasuk  Imam  Syafi'i  dan
Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai
sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi  saw.  Tidak  pernah  memindahkan
serban  kecuali  kalau  berat."  Jadi pemindahan dalam khotbah
istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi  dan
sebagian  pengikut  Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan
itu hanya kebetulan  saja.  Para  ulama  juga  ikhtilaf  untuk
menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau
berlaku bagi jemaah juga, apakah yang  sunnah  itu  pemindahan
atau  pembalikkan.  Anda  melihat bagaimana para ulama berbeda
dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.
 
Karena  itu,  Fazlur  Rahman  dalam  Membuka   Pintu   Ijtihad
menegaskan  adanya  unsur  penafsiran  manusia  dalam  sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan  hadits.
Ketika  terjadi  perbedaan  paham,  maka  yang  disebut sunnah
adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijma'.  Karena  sunnah  adalah  hasil penafsiran, nilai sunnah
tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.
 
Pernyataan Fazlur Rahman  ini  bagi  kebanyakan  orang  sangat
mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara
mutlak adalah  al  Qur'an  dan  sunnah?  Patut  dicatat  bahwa
kesimpulan  Fazlur  Rahman  itu  didasarkan  pada sunnah dalam
pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian
tentang  hadits  sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah
para sahabat, bahkan  sunnah  para  tabi'in.  Definisi  sunnah
seperti  disebutkan  di  atas,  pada  kenyataannya  tidak lagi
dipakai. Bila sunnah sudah  mencakup  juga  perilaku  sahabat,
kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.
 
PENUTUP.
 
Ketika  kita  sedang  giat  melakukan islamisasi ilmu, budaya,
ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak  bisa  tidak  harus
merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita  harus  melihat
hadits.  Pembaruan  pemikiran  Islam atau reaktualisasi ajaran
Islam, harus mengacu  pada  teks-teks  yang  menjadi  landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah
dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang  sering  kita  lupakan
adalah  bersikap  kritis  terhadap  keduanya. Sikap kritis ini
seringkali dicurigai akan menghilangkan  hadits  atau  sunnah.
Kita  lupa  bahwa  kritik terhadap keduanya telah diteladankan
kepada kita oleh para ulama terdahulu.
 
Bila para  pembaru  Islam  terdahulu  memulai  kiprahnya  dari
kritik   terhadap   hadits   dan   sunnah   (Ingat   bagaimana
Muhammadiyah dan PERSIS  "men-dha'if-kan"  hadits-hadits  yang
dipergunakan   orang-orang   NU),   mengapa   kita  tidak  mau
melanjutkannya. Konon  Imam  Bukhari  bermimpi,  ia  duduk  di
hadapan  Rasulullah  saw,  dan  di  tangannya  ada kipas untuk
mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw.  Ketika  ia
bertanya  kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka
berkata,  "Anda  akan  membersihkan  hadits  Nabi  saw.   dari
kebohongan."   Inilah   yang  mendorong  Bukhari  mengumpulkan
hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang  ribuan  hadits
yang  dianggap  dha'if  (lemah).  Siapa yang ingin melanjutkan
tradisi Imam Bukhari dewasa ini?
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team