Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN        (4/4)
oleh Nurcholish Madjid
 
Pembuangan asumsi-asumsi  adalah  fase  pembebasan  yang  amat
sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat
dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi  dalam  sebuah
syair kesufiannya,
 
Barangsiapa  mengaku  dengan  pasti bahwa Allah bergaul dengan
dirinya, dan ia tidak lari  (dari  pengakuan  itu),  maka  itu
adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa.
 
Tidak   ada  yang  tahu  Allah  kecuali  Allah  sendiri,  maka
waspadalah,  sebab  yang  sadar  di  antaramu  tentulah  tidak
seperti yang alpa.
 
Ketiadaan   kemampuan  menangkap  pengertian  adalah  ma'rifat
begitulah memang pandangan akan  hal  itu  bagi  yang  berakal
sehat.   Dia   adalah   Tuhan  yang  sebenarnya,  yang  pujian
kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang  Maha  Suci,  maka
janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan.
 
(Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 1:270).
 
Jadi  perasaan  tahu  Tuhan  adalah justru pertanda tidak tahu
apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian
rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa
Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan  terjangkau
wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya,
maka ia pun akan  paham  bahwa  perasaan,  apalagi  keyakinan,
bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya.
 
Dalam  gambaran  Ibn 'Arabi, bahkan seandainya seseorang dapat
mengetahui alam gaib,  maka  saat  alam  gaib  itu  tersingkap
baginya  adalah  juga  saat ia tertutup baginya. Jadi, sejalan
dengan  sifat  paradoksal  kenyataan-kenyataan,  justru   saat
seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu.
 
Jika   matahari   ilmu   telah   terbenam.   maka   bingunglah
akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam  teori  pembuktian.
Kalau  seandainya  alam  gaib  itu  dapat disaksikan oleh mata
penglihatan, maka saat munculnya alam  gaib  itu  adalah  juga
saat ia terbenam. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 3:57)
 
Maka  perjalanan  mencari  Tuhan  mengikuti  garis  lurus atau
al-shirath al-mustaqim adalah  perjalanan  yang  mensyaratkan.
kekosongan  pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari
asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam  ilmu  tasawuf  sebagai
akhalli, pengosongan diri. Inilah tawhid dalam tingkatnya yang
amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad).
 
Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa  Nabi  sendiri  pun
melakukan  takhalli  Nabi  diperintahkan agar menyatakan bahwa
beliau  hanyalah  seorang  Utusan  Tuhan,  antara  lain  untuk
mengajarkan  kepercayaan  pada  adanya alam gaib, namun beliau
hanyalah seorang manusia yang diutus Allah,  dengan  mengikuti
ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu
kepada masyarakat manusia,
 
Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku  kepadamu  bahwa
aku  memiliki  perbendaharaan  Allah juga tidak aku mengetahui
alam gaib. Aku pun tidak pernah  mengaku  kepadamu  bahwa  aku
adalah  seorang  malaikat.  Aku  hanyalah  mengikuti  apa yang
diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama  antara
orang   yang   melihat  dan  orang  buta?  Apakah  kamu  tidak
berpikir?" (QS. al-An'am/6:50)
 
Lebih lanjut, senafas dengan  prinsip-prinsip  di  atas,  Nabi
juga  diperintahkan  Allah  menyatakan  bahwa  beliau tidaklah
bermaksud  membuat  hal-hal  baru  terhadap  apa  yang   telah
diwariskan pada Rasul terdahulu, dan bahwa beliau sendiri juga
tidak tahu apa  yang  akan  diperbuat  Allah  terhadap  beliau
(misalnya,  mengingat  bahwa  sebagai Rasul terdahulu ada yang
menjadi korban,  sampai  terbunuh,  oleh  misi  sucinya)  Nabi
hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah
seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan,
 
Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang  pembuat  bid'ah  di
antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu
apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa
yang  diperbuat)  kepadamu.  Aku  hanyalah  mengikuti apa yang
diwahyukan  kepadaku  dan   aku   hanyalah   seorang   pembawa
peringatan yang jelas tidak meragukan. (QS. al-Ahqaf/46:9)
 
Bagi  seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan
bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti  mengetahui  apa  yang
benar  dan  apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa
yang mendapat petunjuk Tuhan dan  siapa  pula  yang  sesat  di
antara   manusia   ini,  termasuk  di  antara  beliau  sendiri
berhadapan dengan kaum  yang  menolak  kebenaran  yang  beliau
ajarkan.  Namun  Allah  masih mengajari beliau agar menerapkan
apa yang disebut (dalam bahasa Inggris)  the  benefit  of  the
doubt  atau  hikmah  keraguan,  sebagai  metodologi  pencarian
kebenaran,
 
Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik
yang  dari  langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan
boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk
kebenaran,  atau  pasti  berada  dalam kesesatan yang terang."
(QS. Saba'/34:24)
 
Semuanya itu dalam  pandangan  kesufian  dan  filsafat  Islam,
adalah  jalan  sebenarnya  menuju  dan  menemukan kebahagiaan.
Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air"  di  surga  itu
dinamakan  "sal  sabil-an"  atau  "tanyalah  jalan" melukiskan
bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari  perasaan  kepastian
dalam pengalaman pencarian Kebenaran. Justru pengalaman rohani
ketika  dengan  penuh  ketulusan  hati  dan  niat  yang  murni
sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan
harapan (khawf-an wa thama'-an)  yaitu  kecemasan  kalau-kalau
gagal  menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran
itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan  (liqa).  Seraya  dengan
itu,  terJadi  pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi
dan menjaganya dari kerusakan  yang  mungkin  menimpa.  Itulah
inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala
melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman  kebahagiaan.  Semua
itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang
patut sekali kita renungkan:
 
Serulah Tuhanmu sekalian, dengan  kerendahan  hati  dan  suara
sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat
batas. Dan  janganlah  kamu  merusak  bumi  setelah  bumi  itu
diperbaiki.  Lalu  serulah  Dia  dalam  kecemasan dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat
kebaikan. (QS. al-A'raf/7:54-55)
 
RAHMAT ALLAH DAN KERIDLAAN-NYA
 
Dengan  mengutip  sebuah  firman Allah di bagian terdahulu dan
tafsir atau komentarnya Sayyid Quthub, kita  mengetahui  bahwa
keridlaan Allah adalah ganjaran kebahagiaan yang tertinggi dan
paling agung kepada kaum beriman dan bertaqwa.  Dan  keridlaan
(Indonesia:   kerelaan,   yakni,  perkenan)  Allah  itu  tidak
terpisah  dari  rahmat  atau  kasih  Allah   kepada   manusia.
Kebahagiaan  tertinggi  adalah  pengalaman hidup karena adanya
rahmat dan keridlaan Allah. Seperti  ditafsirkan  banyak  ahli
pikir  Islam, termasuk Sayyid Quthub tersebut di muka, sebagai
puncak pengalaman kebahagiaan, keridlaan Allah membuat  segala
kenikmatan yang lain menjadi tidak atau kurang berarti. Rahmat
dan keridlaan Allah itulah yang dijanjikan kepada  orang-orang
beriman dan berjuang di jalan-Nya, seperti difirmankan,
 
Mereka  yang  beriman,  berhijrah,  dan berjihad dijalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka  adalah  lebih  agung  derajatnya
disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan
mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan  rahmat
dan  keridlaan-Nya  dari  Dia,  serta surga-surga yang di sana
mereka peroleh kenikmatan yang mapan. (QS. Al-Tawbah/9:20-21)
 
Lebih menarik  lagi  adanya  keterangan  bahwa  keridlaan  itu
sesungguhnya  suatu  nilai  yang timbal balik antara Allah dan
seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini  adalah  sangat  masuk
akal  belaka,  karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada
seorang hamba, jika hamba itu rela  kepada-Nya.  Dan  kerelaan
seorang  hamba  kepada  Khaliqnya  tak  lain adalah salah satu
wujud nilai kepasrahan (Islam) hamba  itu  kepada-Nya.  Inilah
gambaran  tentang  situasi  mereka yang telah mencapai tingkat
amat tinggi dalam iman dan taqwa,  seperti  gambaran  mengenai
mereka itu dari masa lalu.
 
Dan  mereka,  para  pelopor  pertama,  yang  terdiri dari para
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang  mengikuti  jejak
mereka  dengan  baik, Allah rela kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya. Dan Dia menyediakan untuk mereka  surga-surga
yang  sungai-sungai  mengalir di bawahnya, dan mereka kekal di
sana  selama-lamanya.  Itulah  kebahagiaan  yang  agung.  (QS.
al-Tawbah/9:100)
 
Juga  seperti  lukisan  tentang jiwa yang mengalami ketenangan
sejati (muthma'innah), yang dipersilakan  dengan  penuh  kasih
sayang  kembali kepada Tuhannya dalam keadaan saling merelakan
antara Tuhan dan hamba-Nya, kemudian  dipersilakan  pula  agar
masuk  ke  dalam  kelompok  para  hamba  Tuhan,  dan  akhirnya
dipersilakan masuk ke surga, lingkungan kebahagiaan,
 
Wahai jiwa  yang  tenang-tenteram,  kembalilah  engkau  kepada
Tuhanmu,  merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke
dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah  engkau  ke  dalam
surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30)
 
Jadi  keridlaan  Allah  itulah  tingkat kebahagiaan tertinggi.
Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, "Oh  Tuhanku,  Engkaulah
tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku." Bagi kaum sufi,
kebahagiaan  yang  lain  tak  sebanding   dengankeridlaanAllah
sampai-sampai,   seperti  didendangkan  Rabi'ah  al-'Adawiyah,
"masuk neraka" pun mereka bersedia, karena mereka rela  kepada
Allah dan mengharapkan kerelaan-Nya.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team