Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (2/3)

Ushul al-Fiqh (I)

Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil pula Anas ibn Malik (715-795) di Hijaz (Madinah). Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awza'i di Syria (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.

Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H [820 M]. Al-Syafi'i meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari al-Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi, dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematika dan universal tentang metode memahami hukum.

Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan dasar-dasar teoritis tentang dua hal, yaitu, pertama, Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi atau qiyas sebagai metode rasional memahami dan mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus atau ijma' yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum (al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i, meskipun ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas.

Hadits sebagai Sunnah

Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa khalifah Abu Bakr (atas saran 'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu. Dalam hal ini Hadits berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah al-Syafi'i sendiri. Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]). Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadits, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).

Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadits sehingga menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadits ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadits, lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang dihubungkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:

"Bahwa (abu Bakr) al-Shiddiq mengumpulkan orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata, "Kamu semuanya menceritakan banyak hadits dari Rasulullah s.a.w. yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu sekalian menceritakan (hadits) sesuatu apa pun dari Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang diharamkannya.'"[16]

Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong periwayatan hadits, tiga diantaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:

" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakr meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w. menyebutkan sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr) bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata, "Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya seperenam." Lalu Abu Bakr bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakr r.a. pun melaksanakannya.[17]

Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:

" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadits untuknya, "Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!" Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi mantap."[18]

Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadits, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits, sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadits atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.[19]

Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadits yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.

Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadits ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadits memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi kemudian dilarang.[20] Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai bagian dari agama.[21] Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama. Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah para sahabat Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.[22] Karena itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu saja.[23] Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami (M. M. Azmi) dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap.[24] Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadits.[25]

Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya Hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas, aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah, atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H [1318 M7).[26]

Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan para tabi'un.[27]

(sesudah)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team