Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah (1/2)

Pokok pembicaraan kita ialah paham Asy'ari dalam tinjauan segi kekuatan dan kelemahannya. Tetapi meskipun pembicaraan ini menyangkut penilaian kritis terhadap paham itu, namun kritik itu an sich tidaklah menjadi tujuannya. Pembicaraan kita bertolak pada usaha untuk mengenali segi-segi positif paham itu dan mencari jalan bagaimana mengembangkannya agar dapat menjadi suatu sumbangan kepada tantangan hidup masa kini. Juga dengan sendirinya pada usaha mengenali segi-segi negatifnya serta sedapat mungkin menemukan jalan untuk menghindari atau menghilangkannya.

Relevansi pembicaraan ini ialah bahwa sebagian besar kaum Muslimin Indonesia, jika tidak seluruhnya, menganut paham Asy'ari di bidang 'aqidah. Pertama, karena Islam di Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut aqidah Syi'ah atau Mu'tazilah. Kedua, karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi'i dan seperti di mana-mana, kaum Syafi'i kebanyakan menganut 'aqidah Asy'ari. Ini berbeda dengan kaum Sunni bermazhab Hanafi (di Asia Daratan) yang kebanyakan menganut 'aqidah Maturidi, dan dari kaum Sunni bermazhab Hanbali (di Arabia) yang tidak menganut Asy'ari maupun Maturidi, melainkan mempunyai aliran sendiri khas Hanbali. Pembela paling tegas paham Sunnah (lengkapnya, Ahl Sunnah wa al-Jama'ah -- baca: "Ahlusunnah waljama'ah") di negeri kita, yaitu Nahdlatul 'Ulama', dalam muktamarnya di Situbondo akhir 1984 yang lalu merumuskan dan menegaskan bahwa paham Sunnah ialah paham yang dalam 'aqidah menganut al-Asy'ari atau al-Maturidi. Sedangkan kelompok-kelompok lain, seperti Muhammadiyah sebagai yang pertama-tama dan terbesar, yang biasanya oleh Nahdlatul 'Ulama' dipandang sebagai tidak tegas berpaham Ahl al-Sunnah wa al jama'ah (namun sebenarnya dalam banyak hal malah sangat Sunni), juga masih tetap menganut al-Asy'ari dalam 'aqidah, tanpa banyak mengambil alih kritik para pemikir modernis Islam seperti Muhammad 'Abduh, ataupun pemikir reformis seperti Ibn Taymiyyah dan, apalagi, Muhammad ibn 'Abd-al-Wahhab, terhadap beberapa segi paham Asy'ari itu. Maka membicarakan paham Asy'ari berarti membicarakan pandangan kepercayaan agama yang paling kuat dan luas di negeri kita.

Imam al-Asy'ari

Jika disebut paham Asy'ari, kita maksudkan keseluruhan penjabaran simpul ('aqidah) atau simpul-simpul ('aqa'id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H./873 M. dan wafat pada 324 H./935 M. Jadi dia tampil sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204 H./819 M.), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Dan penampilan al-Asy'ari membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di bidang keimanan atau 'aqidah.

Penalaran al-Asy'ari disebut ortodoks karena lebih setia kepada sumber-sumber Islam sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf. Meskipun mereka ini semuanya, dalam analisa terakhir, harus dipandang secara sebenarnya tetap dalam lingkaran Islam, namun, dalam pengembangan argumen-argumen bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak menggunakan bahan-bahan falsafah Yunani. Banyaknya penggunaan bahan falsafah Yunani itu memberi ciri pokok pemikiran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf sehingga mereka melakukan pendekatan ta'wil atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks dalam Kitab dan Sunnah yang mereka anggap mutashabihat karena, misalnya, mengandung deskripsi tentang Tuhan yang antropomorfis (Tuhan menyerupai manusia seperti punya tangan, mata, bertahta di atas Singgasana atau Arasy, bersifat senang atau ridla, murka atau ghadlab, dendam atau intiqam, terikat waktu seperti menunggu atau intidhar, dan seterusnya). Disebabkan kuatnya peranan dan unsur logika dan dialektika dalam penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf ini, maka sistem mereka disebut Ilmu Kalam, yakni, Ilmu Logika atau Dialektika. Maka jika penalaran mereka itu merupakan sebuah teologi, lebih tepat disebut Teologi Rasional, Teologi Dialektis atau Teologi Spekulatif, kadang-kadang disebut Teologi Skolastik, juga disebut Teologi Alami (Natural Teology), bahkan Teisme Falsafati (Philosophical Theism).[1]

Tetapi penggunaan argumen-argumen logis dan dialektis tidak terbatas hanya kepada kaum Mu'tazilah dan para Failasuf saja. Kaum Asy'ari juga banyak menggunakannya, meskipun metode ta'wil yang menjadi salah satu akibat penggunaan itu hanya menduduki tempat sekunder dalam sistem Asy'ari. Kemampuan Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari menggunakan argumen-argumen logis dan dialektis ia peroleh dari latihan dan pendidikannya sendiri sebagai seorang Mu'tazili. Ia memang kemudian, pada usia empat puluh tahun, menyatakan diri lepas dari paham lamanya, dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits) yang dipelopori kaum Hanbali, yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi, sehingga sering diisyaratkan sebagai kaum Sunni par excellence. Namun al-Asy'ari nampak tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari metode logis dan dialektis, yang kali ini ia gunakan justru untuk mendukung dan membela paham Ahl al-Hadits. Disebabkan oleh metodologinya itu mula-mula al-Asy'ari tetap mencurigakan bagi kaum Hadits pada umumnya, sehingga ia merasa perlu membela diri melalui sebuah risalahnya yang sangat penting, Istihsan al-Khawdl fi 'Ilm al-Kalam ("Anjuran untuk Mendalami Ilmu Kalam", yakni, Ilmu Logika). Karena ilmu logika formal, atau silogisme, dipelajari orang-orang Muslim dari Aristoteles (maka dalam bahasa Arab disebut secara lengkap sebagai al-manthiq al-aristhi, logika Aristoteles), pemikiran Ilmu Kalam adalah juga dengan sendirinya bersifat Aristhi atau Aristotelian, dengan ciri utama pendekatan rasional-deduktif. (Segi ini pada umumnya, dan segi-segi tertentu konsep dalam Kalam pada khususnya, merupakan alasan kritik dan penolakan oleh kaum Hanbali atas Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh kaum Asy'ari, dengan kontroversi dan polemik yang masih berlangsung sampai hari ini).

Walaupun demikian, sungguh sangat menarik bahwa dalam pergumulan pemikiran yang sengit di bidang teologi itu akhirnya Imam Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah tersebut memperoleh kemenangan besar, jika bukan terakhir atau final. Ini terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy'ari, yang dengan kekuatan argumennya yang luar biasa, disertai contoh kehidupannya yang penuh zuhud, mengembangkan paham Asy'ari menjadi standar paham Ortodoks atau Sunni dalam 'aqidah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, pada saat sekarang ini, untuk sebagian besar kaum Muslim seluruh dunia, paham Asy'ari adalah identik dengan paham Sunni, dan, lebih dari itu, bahkan Ilmu Kalam pun sekarang menjadi hampir terbatas hanya kepada metode penalaran Asy'ari. Maka dilihat dari kadar penerimaannya oleh sedemikian besar kaum Muslim, dan dari bagaimana penerimaan itu melintasi batas-batas kemazhaban dalam fiqh, paham Asy'ari adalah paham yang paling luas menyebar dalam Dunia Islam, sehingga al-Asy'ari bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang paling sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat mengklaim sedemikian banyak penganut dan sedemikian luas pengaruh buah pikirannya seperti Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini ialah Syaykh Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-karyanya yang cukup banyak dan kini telah diterbitkan.

Beberapa Inti Pokok Paham Asy'ari

Sesungguhnya letak keunggulan sistem Asy'ari atas lainnya ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy'ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta'wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode ta'wili kaum Mu'tazili. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy'ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.

Meskipun begitu, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid'ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya. Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy'ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya. Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:

Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadits dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah s.a.w., tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua. Dan Allah --Subhanahu-- adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur.

Dan bahwa Allah --subhanahu-- ada di atas 'Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan (Q., 20:5), "Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana"; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan (Q., 37:75), "Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku", dan juga firmanNya (Q., 5:64), "Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar"; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan (Q., 54:14), "Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami"; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan (Q., 55:27), "Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia."

Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah --subhanahu-- ada pengetahuan ('ilm), sebagaimana difirmankan (Q., 4:166), "Diturunkan-Nya ia (al-Qur'an) dengan pengetahuanNya", dan juga firman-Nya (Q., 35:11), "Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya."...

Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (Q., 81:29), "Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu) menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya", dan sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, "Apa pun yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi."

Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya.

Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah 'azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun dari padanya.

Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk.

Dan Allah --subhanahu-- berkuasa membuat orang-orang kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman; tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan (tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri hati mereka.

Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla') dan ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman kepada qadla' dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk, serta yang manis dan yang pahit. Mereka juga beriman bahwa mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah, sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah --subhanahu-- dan mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu serta keperluan kepada-Nya dalam setiap keadaan.[2]

Selanjutnya al-Asy'ari menuturkan pokok-pokok pandangan Sunni lainnya seperti bahwa al-Qur'an adalah kalam Ilahi yang bukan makhluk, bahwa kaum beriman akan melihat Allah di surga "seperti melihat bulan purnama di waktu malam", bahwa Ahl al-Qiblah (orang yang melakukan sembahyang dengan menghadap kiblat di Makkah) tidak boleh dikafirkan meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan zina, bahwa Nabi akan memberi syafa'at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa-dosa besar, bahwa iman menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa naik dan turun, bahwa nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang wujudnya terpisah), bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja yang sampai ke tangan kita dari Rasulullah s.a.w. melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?" ataupun "Mengapa?", karena semuanya itu bid'ah.

Juga bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan melarangnya; dan Dia memerintahkan kebaikan dengan tidak meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki kejahatan itu.

Dan bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia pilihan Allah harus diakui, dengan menghindarkan diri dari pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan bahwa urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu Bakr, kemudian 'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan 'Ali.

Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga mengharuskan taat mengikuti imam atau pemimpin, dengan bersedia bersembahyang sebagai ma'mum di belakang mereka, tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun orang jahat (fajir).

Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan munculnya Dajjal di akhir zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa Ahl al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru bid'ah; harus rajin membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang, dan budi yang baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti orang; harus meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan, dan terlalu mencari-cari makan dan minum!

Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang panjang-lebar. Pada akhir keterangannya itu, al-Asy'ari menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita bermazhab."[3]

(sesudah)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team