Pergolakan Pemikiran:
Catatan Harian Muslim Jerman

Murad Wilfred Hoffman

Undang-Undang Internasional Islam

(Bonn, 12 Maret 1981)

Istilah undang-undang internasional mengandung adanya pengakuan dunia terhadap undang-undang itu. Sementara, aktivitas undang-undang bangsa-bangsa selalu ditentukan oleh sejauh mana penghormatan dan pelaksanaannya pada tataran negara.

Pada masa modern ini, kita harus mengetahui sekali lagi kemungkinan adanya undang-undang internasional khusus bagi suatu regional, meskipun hal ini tampak kontradiksi.

Secara faktual, fenomena regional dalam undang-undang bangsa-bangsa tidak terbatas hanya pada Amerika Latin dan dunia komunis, yang dikuasai oleh pemikiran bangsa-bangsa proletar yang pesimis dengan dikeluarkannya apa yang mereka namakan dengan prinsip Brezhnev. Sementara dunia Islam, hingga akhir perang dingin tidak turut serta merancang undang-undang internasional bersama negara-negara Kristen.

Dari segi prinsip, kondisi itu tidak mungkin lagi dibiarkan. Karena syariat Islam tidak mengakui pemikiran undang-undang konvensional dan kemungkinan mengadakan perjanjian damai antara negara-negara Islam dan bukan Islam.

Sebaliknya, Undang-Undang Islam, bukannya turut memperkaya pemikiran romantis adanya "keluarga bangsa-bangsa", malah dengan amat tegas membedakan antara kelompok umat Islam (darul-islam) dan non muslim yang berada di luar kelompok umat Islam (darul-Harb).

Patut diingatkan bahwa teori undang-undang Islam menganggap bahwa seluruh umat Islam disatukan oleh satu kesatuan (ummah). Oleh karena itu, ia menolak pemikiran banyak negara. Sebagai implikasi dari hal itu, Undang-undang Islam (syariat), hingga saat ini masih menolak birokrasi hubungan antar masyarakat Islam seperti hubungan biasa dengan negara-negara.

Seperti yang dijelaskan oleh Hans Crose --dalam bukunya, yaitu "Islamiche Volkerrechtslehre" (second edition)-- meskipun seperti itu, undang-undang Islam dapat mengikuti fakta-fakta konflik internasional yang keras.

Pertama, para pakar Islam --seperti teman-teman mereka di Barat-- mengajarkan wajibnya menghormati.transaksi-transaksi dan perjanjian-perjanjian tanpa memperhatikan agama pihak kedua. Tidak ada perbedaan praktis jika para ahli hukum Islam mendasarkan sakralitas perjanjian-perjanjian ini pada perintah Tuhan dalam Al-Qur'an, bukannya pada kaidah-kaidah undang-undang internasional konvensional atau tradisional. Yang terpenting, umat Islam dalam melaksanakan undang-undang dalam negeri mereka, harus juga menjaga perjanjian-perjanjian internasional --yang dihormati oleh non-muslim sebagai pelaksanaan mereka terhadap undang-undang intenasioanal.

Kedua, para ahli hukum Islam berhasil menciptakan solusi hukum yang cerdas, yang membuat mereka mampu, dengan perangkat itu, menyelaraskan antara fakta-fakta keras dan teori undang-undang yang berlevel tinggi. Dengan demikian, mereka dapat melegitimasi apa yang tidak diperkenankan dalam mengadakan hubungan damai permanen antara negara-negara Islam dan non-Islam, atas dasar perjanjian damai yang secara implisit diperbolehkan.

(sebelum, sesudah)


Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman
oleh Murad Wilfred Hoffman
Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.org

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.