Pergolakan Pemikiran:
Catatan Harian Muslim Jerman

Murad Wilfred Hoffman

Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (1)

(New York, 17 Mei 1951)

Sudah lewat setahun aku mempelajari ilmu sosial di Universitas Union College, yang terletak dekat sungai Mohock, di dataran tinggi negara bagian New York. Metode pengajaran mata kuliah yang digunakan adalah empiris an-sich. Oleh karena itu, kajian tentang tugas sosiologis manusia dan perilakunya tidak beranjak dari gambaran-gambaran yang mengkristal secara filosofis dan teologis dari tabiat esensial manusia dan tujuannya, sehingga pertimbangan-pertimbangan nilai tidak diperkenankan karena dianggap "tidak ilmiah". Itu dilakukan demi kepentingan segi-segi kuantitas. Interaksi sosial antara lelaki dan wanita diletakkan dalam statistik angka-angka. Oleh karena itu, penelitian hanya berfokus pada tugas dan peran yang dimainkan keduanya dalam kehidupan berdasarkan tingkat prestasi keduanya dalam mewujudkan kesempurnaan dan kepentingan sosial. Sejalan dengan teori yang populer dari Sigmund Freud dalam ilmu jiwa mengenai individu, dan anggitan materi dan mekanis yang berkembang tentang kehidupan dan intelektualitas.

Tampaknya, metodologi perilaku ini serupa dengan metode yang diaplikasikan oleh Karl Von Prietz dalam menentukan tingkat kecerdasan tawon dan sifat-sifat bawaannya.

Semenjak beberapa tahun, sebelum Vans Packard menulis "Jenjang Bersusun Piramid", "Open Nationality", dan "Agitator Terselubung", dan sebelum Concard Lawrence menulis "Tentang Permusuhan", aku telah berusaha menemukan hukum-hukum yang mempengaruhi aktivitas seluruh manusia dan masyarakat. Meskipun aku belum meneliti bias nilai yang ditimbulkan oleh riset sosiologis: setiap kali manusia melihat hasil statistik mengenai sesuatu yang dianggap biasa, maka ia akan melakukan conditioning dirinya dengan ukuran nilai itu. Sehingga sosiologi berubah menjadi prediksi pencipta kepribadian. Rupanya, rekan-rekanku sesama mahasiswa dalam kelompok persaudaraan (di C-Obselon) menjadi korban kecenderungan conditioning diri secara total dengan ukuran nilai ini.

Yang jelas, metodologi seperti ini dipergunakan untuk melihat hakikat kemanusiaan, tampak tidak seirama dengan antropologi yang berasaskan filsafat. Juga sosiologi agnostisisme yang memberi perhatian pada ilmu etika, akan membawa manusia jauh dari pedoman-pedoman tradisional dalam melihat etika-etika yang berkembang, yang mendukung sebuah bangunan sosial.

Yang paling representatif mendeskripsikan keruntuhan metodologis dalam memandang batasan-batasan etika adalah trend olahraga seks yang memalukan yang berkembang di lingkungan pendidikan. Jika social-conditioning co-existensi dianggap sebagai tujuan terbesar yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, maka segala apa yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, ada dalam realitas sosial tersebut adalah nisbi belaka. Sehingga manusia mengerjakan apa yang orang-orang lain duga akan ia kerjakan. Atau, seperti yang dikatakan oleh George Schimmel, "Manusia tanpa kepribadian adalah manusia yang menjadi budak nurani sosialnya secara total."

Model sosiologi ini dianggap bukan ideologi, bahkan bertentangan dengan ideologi. Pada kenyataannya, ia hampir menjadi agama palsu yang memakai topeng dan menyelusup di bawah slogan salah satu ilmu-ilmu biologi yang diragukan kebenarannya.

Seorang yang menolak untuk membuang pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai manusia, seperti: dari mana, akan ke mana, mengapa? Atau ia meremehkannya, bukankah itu sikap ideologis? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat tokoh filosof dan ahli teologi sepanjang masa tidak mampu berbuat lain, kecuali mencampakkannya.

Ilmu pendidikan yang berada di bawah pengaruh sosiologi, dan berusaha mewujudkan kesesuaian hingga pada batas persamaan terkecil, bukankah itu hasil dari teori world view?

Benar, jenis sosiologi ini akan melewati konklusinya yang terdahulu. Ia tidak hanya menganggap sebagai sebuah fenomena yang harus diterima. Jika hal itu telah menjadi world view bagi masyarakat Amerika. Ia juga menjadi world view masyarakat Eropa.

Selanjutnya, bagaimana kita dapat mengingkari agama imitasi, seperti Marxisme "Ilmiah", jika kita juga menganggap ateisme sebagai salah satu corak hidup, sambil menolak sistem nilai Barat karena bias kuat agnostisisme. Karena itu, ia berkompetensi meluruskan nilai.

(sebelum, sesudah)


Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman
oleh Murad Wilfred Hoffman
Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.org

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.