Pergolakan Pemikiran:
Catatan Harian Muslim Jerman

Murad Wilfred Hoffman

Islam dan Era Boom Minyak

(Jedah, 28 Desember 1982)

Keberuntungan menimpa bangsa Arab dua kali dalam sejarah. Pertama, pada abad ke-7 M, ketika Islam menjadikan Mekah sebagai kiblat dunia. Kedua, setelah tahun 1973, ketika harga minyak membumbung tinggi. Ketika Allah memerintahkan Nabi lewat firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan", sesungguhnya Ia menganugerahi Nabi suatu kenikmatan yang langgeng. Kemudian, penemuan minyak membawa keberkahan.

Jika seseorang berasal dari Hijaz, maka dua momen yang mencengangkan ini cukup memberi indikasi bahwa Muhammad menginduk ke "bangsa terpilih" yang memiliki karakter Arab yang khas.

Walaupun begitu, sahabat mudaku dan kawan-kawannya tidak terpengaruh oleh kemewahan yang menimpa mereka. Orang-orang Saudi dengan penuh bangga menyebut bahwa warisan klan-klan Badui yang bebas lebih mahal daripada deposito. Mereka lebih tertarik mendiskusikan masalah-rnasalah agama daripada membicarakan dolar, bursa efek, atau masalah kebebasan seksual diramalkan oleh Herbert Marcus.

Tiap pagi mereka saling menelepon untuk memastikan bahwa di antara mereka tidak ada yang ketinggalan shalat subuh. Di Barat, seseorang sering mempertanyakan sejauh mana kemampuan perilaku yang ketat ini dalam memegang teguh tujuan-tujuan luhur dalam menghadapi serangan hedonisme. Ia juga tidak mampu menggambarkan bagaimana ia menjauhi fenomena dalam kerangka kekayaan yang berlimpah.

Orang-orang Saudi tentu saja belum melewati keseluruhan fase-fase dalam era industrialisasi. Mereka dikejutkan gempita era teknologi di pasca-era-industrialisasi. Pertanyaan sekarang adalah apakah fenomena ini menambah atau mengurangi bahaya-bahaya yang menghadang agama akibat meningkatnya taraf kehidupan.

Sebelum seseorang menghamburkan ramalan-ramalannya lebih jauh dari itu, seyogianya kita mengakui kepada diri kita dengan pendekatan Marxisme terhadap sistem ini. Apakah kita sudah benar-benar terlena dalam lautan materialisme sampai pada tingkat yang menjadikan kita tidak mampu untuk mengkhayalkan sesuatu yang lebih besar dari "bangunan atas" (seperti yang disebut Marx), sesuatu yang lebih besar dari cerminan situasi-situasi ekonomi sekarang.

Secara realita, Islam lebih dari sekadar penggolongan tingkatan dan pendapatan per kapita. Sungguh, agama ini mampu membentengi manusia dalam melawan harta dan kemewahan.

Seorang muslim yang saleh tidak akan bekerja menurut prioritas berdasarkan pertimbangan pasar. Ia memproduksi semaksimal mungkin dan memperbesar keuntungan.

Pada saat yang sama, umat Islam tidak menganggap pemilikan pribadi, perdagangan, keuntungan, dan kekayaan sebagai keburukan, tidak juga mencelanya. Seorang muslim yang saleh keadaannya seperti direktur bisnis Kristen dari sekte "beramal karena Tuhan." [2] Ia tidak merasa asing dengan dunia ekonomi juga tidak mengerahkan seluruh tenaga dalam menaati azas manfaat.

Atas dasar ini, ada harapan bahwa Islam mampu --dengan menjauhi lintas silang dua peradaban Kapitalisme dan Marxisme-Lenmisme-- untuk menjadi alternatif terbaik (alternatif yang berwajah insani).

[2] Sekte "Amal Karena Tuhan" (Opus Dei) adalah Ikatan Katolik Internasional yang didirikan oleh seorang Spanyol pada tahun 1928 yang mencakup kaum sekularis dan misionaris, yang lewat profesi dan pekerjaan mereka di masyarakat berupaya menyebarkan Kristen.

(sebelum, sesudah)


Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman
oleh Murad Wilfred Hoffman
Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-lam@isnet.org

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.