Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH   (4/4)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
Kondisi  ummat  yang demikian, menurut paham Mahdi Ahmadiyah
ini, diperlukan adanya wahyu muhaddas oleh seorang  Mujaddid
guna  membersihkan agama dari berbagai bentuk kebid'ahan dan
penyelewengan. Kedua, agar dapat  menangkap  makna  al-Quran
dan  menafsirkannya  sesuai  dengan  perkembangan  zamannya.
Ketiga, guna memberi  contoh  cara-cara  hidup  Muslim  yang
sejati,  dan  cara-cara  memperjuangkan  Islam  yang relevan
dengan tuntutan masanya. Oleh sebab itu,  gerakan  Mahdiisme
Ahmadiyah dalam merealisasikan ide kemahdiannya, menuju pada
tujuan yang dicita-citakan adalah dengan jalan  damai  tanpa
kekerasan.  Cara  ini  menurut  mereka,  adalah cocok dengan
sifat dan  cara  yang  ditempuh  oleh  'Isa  al-Masih  dalam
menyampaikan  dakwahnya  kepada  Bani  Israil. Menurut paham
aliran  ini,   menyebarkan   kebenaran   Islam   dan   paham
kemahdiannya dengan menggunakan argumen-argumen rasional dan
fakta-fakta sejarah yang obyektif, bila dibandingkan  dengan
cara-cara  kekerasan  dan  berperang  atau jihad asgar, cara
terakhir ini, dianggap tidak sesuai dengan sifat  Islam  itu
sendiri,  yang  merupakan  rahmatan  lil-Alamin (rahmat bagi
seluruh alam).
 
Dengan demikian, corak kemahdian Syi'ah pada umumnya  adalah
aktif   yang   agresif   dan   bersifat  politiko-religious,
sedangkan  corak  kemahdian  Ahmadiyah  adalah  aktif   yang
defensif dan bersifat sosio-religious.
 
D. PAHAM MAHDI DAN MASALAH AKIDAH
 
Sebagaimana diketahui dalam uraian di atas, paham Mahdi atau
Mahdiisme bagi golongan Syi'ah maupun  Ahmadiyah,  dipandang
sebagai keyakinan yang prinsip, sehingga ia merupakan ajaran
yang harus dipertahankan  dan  diperjuangkan  keberadaannya.
Akan  tetapi,  apabila  paham  ini  dikaitkan  dengan akidah
Islam, maka ia bukan merupakan salah satu  rukun  iman  yang
wajib  diyakini  dan diikuti oleh setiap Muslim. Oleh karena
paham ini tidak ada hubungannya  serta  tidak  ada  dasarnya
dalam al-Quran atau dasar otentiknya.
 
Gerakan  millenarium  atau  gerakan  messiah  yang  diwarnai
dengan [kata-kata Arab], yang dikenal oleh masyarakat  Islam
sebagai  gerakan  al-Mahdi,  pada  dasarnya dipengaruhi oleh
unsur-unsur ajaran Yahudi dan terutama oleh ajaran  Nasrani.
Gerakan  yang  serupa, yang  pernah  juga  terjadi  di  luar
kelompok Islam seperti:  Gerakan  Mwana  Leza,  di  kalangan
masyarakat  Ila  di Rhodesia Utara, gerakan orang-orang Cina
Taiping  (1850-1865)  yang  dimotori  oleh  Hung  Siu-chuan,
gerakan  millenarium  di kalangan masyarakat Munda dan Oraon
dari Chota Nagpur di India. Demikian pula  gerakan  Taborite
dari  Bohemia,  Thomas Munzer dan gerakan Pemerintahan Orang
Suci di Munster, membuktikan betapa besarnya pengaruh ajaran
Nasrani pada gerakan-gerakan tersebut.26
 
Sehubungan  dengan  masuknya  pengaruh  ajaran Yahudi maupun
Nasrani yang mewarnai  gerakan-gerakan  yang  milleniaristis
dan Mesianistis dalam siklus sejarah ummat manusia, apa lagi
dalam hadis-hadis Mahdiyyah  yang  dijadikan  pegangan  oleh
kaum  Syi'ah,  redaksinya  mirip  dengan  ucapan  Ibn  Saba'
(sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat) pada halaman 93 di  atas.
Sedangkan   hadis   Mahdiyyah   yang   dipegangi  oleh  kaum
Ahmadiyah,  seperti  pada  halaman  50,  perawinya   menurut
penilaian ahli-ahli hadis sendiri adalah lemah, sehingga Ibn
Khaldun  menyimpulkan  bahwa  hadis  tersebut  adalah  da'if
mudtarib27  (lemah  lagi  kacau sanad atau matannya). Dengan
demikian, hadis-hadis Mahdiyyah adalah tidak  otentik,  oleh
sebab  itu,  tidak  bisa dijadikan landasan atau dasar dalam
masalah akidah. Sementara  kaum  Mutakallimin  (para  teolog
Muslim)  membuat  suatu komitmen bahwa dasar akidah haruslah
dasar yang qat'i (pasti kebenarannya) seperti  ayat  alQuran
atau hadis mutawatir.
 
'Akidah Mahdiyyah yang muncul di kalangan Syi'ah Kaisaniyah,
sesudah  Muhammad  ibn  al-Hanafiyah  wafat,  untuk  pertama
kalinya  sampai  dewasa  ini,  rupanya  merupakan salah satu
sumber utama lahirnya bid'ah 'aqidah. Sebagaimana dimaklumi,
akidah   Mahdiyyah   bagi  kaum  Syl'ah,  tidak  bisa  lepas
hubungannya  dengan  masalah  kekhalifahan   dan   keimaman.
Demikian  pula bagi golongan Ahmadiyah, akidah tersebut erat
hubungannya  dengan  masalah  kewalian,  kemuhaddasan,  atau
kemujaddidan.    Sekalipun   demikian,   keduanya   terdapat
kemiripan-kemiripan akidah terutama  pada  masalah  kenabian
dan kewahyuan.
 
Dalam  keyakinan  Syi'ah,  menunjukkan bahwa keberadaan imam
sebagai khalifah atau missi kerasulan atau kenabian Muhammad
SAW,  adalah  mutlak diperlukan oleh ummat manusia sepanjang
zaman. Bagi mereka, seorang imam  dipandang  sebagai  gudang
ilmu  Tuhan,  sebagai  penterjemah wahyu-Nya, sebagai hujjah
nyata bagi ummat manusia, dan ia juga merupakan cahaya Allah
yang  menerangi  hati  mereka. Karena itu, scorang imam juga
memperoleh wahyu dari Tuhan. Golongan ini -khususnya  Syi'ah
Isna  'Asyariyyah-  juga  mempunyai paham bahwa kenabian itu
tidak terhenti  sampai  pada  Nabi  Muhammad  saja,  tetapi
kenabian  itu  tetap berlangsung pada 'Ali dan keturunannya.
Hanya  saja  status  kenabiannya  tidak  dinyatakan   secara
eksplisitt  dan  sebagai  ganti istilah kenabian itu, mereka
gunakan term-term al-Wasi, al-Mahdi, atau al-Imam.
 
Paham seperti ini, demikian Ihsan Ilahi  Zahir  menjelaskan,
adalah  diserap  dari  pemikiran Yahudi yang memandang Yusa'
ibn Nun sebagai penerima wasiat atau kekhalifahan dari  Nabi
Muhammad  SAW  guna  mempertahankan kejayaan Islam dan ummat
Islam.28
 
Paham Syi'ah ini  senada  dengan  paham  Ahmadiyah  terutama
sekali  dari  sekte Qadian yang secara tegas memandang Mirza
sebagai nabi dengan menggunakan istilah Nabi  Gair  Mustaqil
atau  Gair  Tasyri'i. Berbeda dengan sekte Lahore yang lebih
moderat dan lebih dekat dengan Ahlu  Sunnah,  dalam  rumusan
akidahnya,  mereka menunjukkan bahwa sekte ini berkeyakinan,
tidak ada nabi lagi  sesudah  Nabi  Muhammad  dan  diakuinya
bahwa  kepercayaan  mereka  terhadap  Mirza,  hanya  sebagai
Mujaddid. Dan kepercayaan  terhadapnya  pun  tidak  termasuk
rukun    iman,   dan   kepada   Muslim   lain   yang   tidak
mempercayainya, juga tidak  dianggap  kafir.  Dia  (al-Mahdi
al-Ma'hud)   adalah   Mujaddid,  Wali  Allah,  atau  sebagai
Muhaddas.  Namun  demikian,   sekte   terakhir   ini   masih
menyebutnya  sebagai  Nabi  Gair  Tasyri'i atau Gair Haqiqi,
selain itu, mereka juga masih menggunakan term wahyu taydid,
wahyu walayah, atau wahyu muhaddas.
 
Apabilia  dalam  paham  Mahdi  Syi'ah  yang  didasarkan pada
'aqidah ar-raj'ah, melahirkan teori tentang Mandataris Imam,
maka  dalam  paham  Mahdi Ahmadiyah tampaknya bersumber dari
teori  al-Bab.  Selain  itu,   jika   paham   Mahdi   Syi'ah
menunjukkan  rasa  permusuhan  dan kedengkian sesama Muslim,
maka  dalam  paham   Ahmadiyah,   menunjukkan   adanya   ide
pembaharuan.  Oleh  sebab  itu,  aliran  ini beralasan bahwa
untuk memperoleh konsep pembaharuan  diperlukan  wahyu  yang
baru.
 
Dalam  menjalankan  syari'at Islam, tampaknya kaum Ahmadiyah
tidak jauh berbeda dengan kaum Sunni,  terutama  dari  sekte
Lahore,  bila dibandingkan dengan kaum Syi'ah. Demikian pula
Kitab  Sucinya,  hadis-hadis  serta  pendapat   ulama   yang
terhimpun  dalam  berbagai kitab yang mereka jadikan sebagai
dalil, adalah sama dengan  cara-cara  yang  biasa  digunakan
oleh kaum Sunni. Hanya saja, karena perbedaan latar belakang
akidah  yang  kecil  saja,  yaitu  tentang  pemahaman   term
kenabian   dan   kewahyuan   semata,  mengapa  mereka  harus
dipandang sebagai non-Muslim? Sedangkan golongan Syi'ah Isna
'Asyariyyah  dan  terutama  dari sekte Isma'iliyyah, seperti
kelompok Druz yang masih ada sampai  sekarang  tetap  diakui
sebagai kelompok Muslim, padahal tradisi mereka jauh berbeda
dengan tradisi kaum Sunni.
 
Dari  keterangan  di  atas,  apabila  kita  kaitkan   dengan
Amandemen  Konstitusi  Pakistan  1973 nomor 2, demikian pula
jika dikaitkan dengan Keputusan Muktamar  Alam  Islami  yang
tidak  mengakuinya aliran Almadiyah -sebagai kelompok Muslim
seperti  yang  lain,  maka   penulis   berkesimpulan   bahwa
keputusan  yang  demikian  itu  lebih  bersifat  politis dan
emosional.  Tidak  mustahil  vonis  yang  dijatuhkan  kepada
golongan  Ahmadiyah  ini,  berlatar  belakang pada peristiwa
yang pernah terjadi di  awal  kemunculan  aliran  ini,  yang
diwarnai   oleh   kekerasan  antara  golongan  Sunni  dengan
golongan Ahmadiyah. Dan diantara  tokoh  Sunni  yang  paling
keras  menentang  keberadaan  aliran  tersebut adalah Syaikh
Abul-A'la  al-Maududi,  namun   yang   ditentangnya   adalah
golongan Ahmadiyah Qadiani, seperti dalam bukunya [kata-kata
Arab].
 
Catatan kaki:
 
 1 Duhal-Islam III, op. Cit., hlm. 236.
 2 Ibid.
 3 Donaldson, op. Cit., hlm. 231.
 4 H.M. Arsyad Thalib Lubis, Imam Mahdi,
  (Medan: Firma Islamiyah, 1967), hlm. 36, et. Seq.
 5 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 312-3, 322.
 6 Al-Maududi, op. cit., hlm. 159-60.
 7 bid., hlm. 159-160.
 8 H.M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 36.
 9 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 241-2.
10 W. Montgomery Watt, The Majesty That was Islam,
   (London: Sidgwick & Jackson, 1974), hlm. 170;
   Syah 'Abdul-'Aziz Gulam Hakim ad-Dihlawi,
   Mukhtasarut-Tuhfah al-Isna Asyariyyah, ed .
   Muhammad Syukri al-Alusi (Istanbul: Isik Kitabevi, 1980),
   hlm. 199.
11 Ibid., hlm. 170-1.
12 Fazlur Rahrnan, op. cit., hlm. 172.
13 Duhal-Isram III, op. cit., hlm. 243.
14 Kaum Sufi yang dimaksud disini ialah mereka yang pernah
   bergabung dengan Syi'ah Isma'iliyyah yang terkemudian
   mengajarkan tentang al-qatb dan abdal.
15 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 179.
16 Kata "Mesiah" berasal dari bahasa Ibrani "Mashiat," dalam
   bahasa Arab disebut al-Masih, yang berarti seorang yang
   diusap dengan minyak kesturi. Demikian pula kata tersebut
   diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Christos," yang
   selanjutnya dikenal dengan Juru Selamat sebagai yang dikenal
   sekarang.
17 H.M. Rasyidi, "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan,"
   Prisma VI, (Januari, 1977), hlm. 45.
18 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 250-1.
19 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 250-1.
20 Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 327.
21 Donaldson, op. cit., hlm. 232.
22 Departemen Agama, "Potensi Organisasi Keagamaan Ahmadiyah
   Qadian," vol. II, (Laporan Penelitian Badan Penelitian dan
   Pengembangan Agama Kanwil Departemen Agama Semarang,
   1984/1985), hlm. 33.
23 Tim Dakwah PB. GAI, op. cit., hlm. 23.
24 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 362.
25 Ibid., hlm. 376 et.seq.
26 Peter Worsley,The Trumpet Shall Sound,
   (New York: Schocken Book 1974), hlm. 22-224.
27 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322.
28 Ihsan Ilahi Zahir, op. Cit., hlm. 396-397.
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team