Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH   (1/4)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
Sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu,  paham  Mahdi
atau   Mahdiisme   Syi'ah   dan   Ahmadiyah   tampak   jelas
perbedaannya, baik dilihat  dari  aspek  teologi,  cara-cara
merealisasikan  ide-ide  kemahdiannya  masing-masing aliran,
maupun dari aspek ajarannya.
 
Seperti diketahui, ide kemahdian ini bermula dari kekecewaan
dan  penderitaan  kaum  Syi'ah  yang  berkepanjangan. Mereka
selalu dalam tekanan-tekanan politik musuh-musuhnya, sesudah
mereka   kehilangan   kesempatan  untuk  memperoleh  kembali
kekuasaan  politik.   Oleh   karena   itu,   mereka   selalu
mendambakan  sosok  pimpinan  yang berwibawa, dihormati oleh
lawan atau kawan  dan  menjadi  penguasa  tunggal  di  dunia
Islam, itulah al-Mahdi.
 
Dalam  masalah  ini  kaum Syi'ah sepakat, bahwa al-Mahdi itu
harus lahir dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib. Namun  mereka
berbeda  pendapat,  apakah  ia harus dan keturunan Hasan dan
Husain  (dan  garis  Rasulullah)   atau   tidak?   Tampaknya
masing-masing   golongan   telah  mengangkat  tokoh-tokohnya
sendiri  sebagai  al-Mahdi,  seperti   Syi'ah   Kaisaniyyah.
Barangkali   cukup   menarik,   perbedaan  antara  Mahdiisme
Isma'iliyyah  dengan  Mahdiisme   Isna   'Asyariyyah,   yang
keduanya  mengaku  dari  keturunan  Husain.  Paham kemahdian
Isma'iliyyah tampak lebih realistis daripada paham kemahdian
Syi'ah  Isna  'Asyariyyah yang fantastis, karenanya al-Mahdi
belum pernah muncul, bahkan  ia  tidak  pernah  akan  muncul
untuk selama-lamanya.
 
Adapun  paham  kemahdian  Ahmadiyah,  yang  dimotivasi  oleh
keinginan  untuk  mengadakan  pembaharuan  pemikiran   dalam
memahami   ajaran   Islam,  bukan  untuk  merebut  kekuasaan
politik. Akan tetapi, kemunculan al-Mahdi  pada  aliran  ini
dipadukan   dengan  kedatangan  kembali  'Isa  al-Masih  dan
Krishna  yang  terjelma  pada  diri  Mirza   Ghulam   Ahmad.
Kemunculan  al-Mahdi  yang inkarnatif ini, menandakan adanya
pengaruh kehinduan, oleh karena itu,  aliran  baru  tersebut
banyak  memunculkan akidah baru yang inovatif, dan tidak ada
hubungannya  sama  sekali  dengan  paham  kemahdian   Syi'ah
ataupun lainnya. Oleh karena itu, mereka menolak paham Mahdi
yang person kemahdiannya bukan berasal dari India,  tentunya
kaum  Syi'ah  pun  menganggap  asing  dan  menolak munculnya
al-Mahdi di luar keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
 
A. ASAL MULA LAHIRNYA PAHAM MAHDI
 
'Akidah Mahdiyyah  dalam  tradisi  Syi'ah  maupun  Ahmadiyah
merupakan   prinsip   keyakinan  yang  mesti  dipertahankan.
Menurut aliran-aliran Syi'ah, di  akhir  zaman  nanti  pasti
akan  muncul  seorang  tokoh  keturunan Ahlul-Bait yang akan
menegakkan  kejayaan  Islam,   memberantas   segala   bentuk
kecurangan,  dan  mengadakan  pemerataan  keadilan.  Ia akan
memegang kekuasaan tertinggi  di  dunia  Islam  dan  menjadi
ikutan ummat manusia.
 
Adapun  orang yang pertama kali meneriakkan sebutan al-Mahdi
adalah Sulaiman ibn  Surad,  yang  ditujukan  kepada  Husain
sewaktu  ia  terbunuh,  dengan  mengatakan:  "Husain sebagai
al-Mahdi putera  al-Mahdi"1  Selanjutnya  dijelaskan,  bahwa
kata 'al-Mahdi' semula dipahami dalam pengertian bahasa yang
artinya, "orang yang mendapat petunjuk Tuhan." Kemudian kata
tersebut   diartikan   sebagai  orang  yang  ditunggu-tunggu
kemunculannya dengan membawa  kesejahteraan  dan  kedamaian.
Orang  yang  mula-mula  memberi  pengertian  demikian adalah
Kaisan, bekas budak 'Ali ibn Abi  Talib  dan  sebagai  tokoh
pendiri  aliran  Kaisaniyyah,  yang  dialamatkan kepada diri
Muhammad ibn Hanafiyyah yang  diyakininya  sebagai  al-Mahdi
yang  tinggal  di  bukit  Radwa.2 Julukan al-Mahdl ini mulai
tersebar, sejak tahun 66 H, yaitu sesudah pemerintahan  Bani
Umayyah   gagal   mempertahankan  sendi-sendi  keadilan  dan
persamaan. Menurut aliran ini (Syi'ah Kaisaniyyah), Muhammad
ibn  al-Hanafiyyah  itu  adalah  al-Mahdi  al-Muntazar  yang
dikenal  pula  dengan  al-Mahdi  ibn  al-Wasi.   Selanjutnya
Donaldson  menjelaskan,  penggunaan  istilah  al-Mahdi  itu,
lebih 200 tahun sebelum masa pengumpulan  hadis-hadis  Nabi,
yaitu  masa  yang cukup untuk kristalisasi pemikiran tentang
al-Mahdi dalam bentuknya yang pasti.3
 
Sehubungan dengan  uraian  di  atas,  hadis-hadis  Mahdiyyah
memang  melahirkan  berbagai  pendapat yang kontroversial di
kalangan ummat Islam.  Hadis-hadis  Mahdiyyah  tidak  dimuat
dalam  Sahih  al-Bukhari  maupun  Sahih  al-Muslim,  mungkin
sekali  karena  sanad-sanadnya  tidak   siqah   atau   dapat
dipercaya,  sehingga  banyak  para  cendekiawan  Muslim yang
belakangan seperti: Syaikh Muhammad Darwisy, Muhammad Rasyid
Rida,  Muhammad Farid Wajdi, Syaikh Tahir Jalaluddin, dan A.
Hasan  dari  PERSIS,  tidak  mau  menerimanya  sebagai  yang
otentik.  Akan  tetapi  sementara  ahli-ahli  hadis seperti:
al-Qurtubi, Ibn  Hajar  al'Asqalani,  Abul-Husain  al-Abiri,
Syamsuddin   as-Sakhawi,  Jalaluddin  as-Suyuti,  Ibn  Hajar
al-Haitami,  az-Zarqani,   al-Qadi   Muhammad   as-Syaukani,
al-Qanuji,    Abul-Hasan    Muhammad   as-Sahari,   Muhammad
Habibullah   as-Syanqiti,    dan    as-Safarini    memandang
hadis-hadis   Mahdiyyah   sebagai   muttawatir.  Hanya  saja
al-Muhaddis Sayyid Ahmad menegaskan, bahwa tiap-tiap  bagian
dari  hadis-hadis  Mahdiyyah itu dengan memandang sanad-nya,
tidak dapat dianggap mutawatir.4
 
Terjadinya  perbedaan  pendapat  yang   bertolak   belakang,
mengenai  hadis-hadis  Mahdiyyah disebabkan adanya perbedaan
cara menilai  keabsahan  hadis-hadis  tersebut.  Pihak  yang
menolak keotentikannya, disamping mereka mengadakan analisis
obyektif dengan menggunakan ilmu-ilmu hadls, juga mengadakan
analisis  sejarah ummat Islam tentang asal mula terbentuknya
paham Mahdi atau Mahdiisme di kalangan  kaum  Syi'ah.  Dalam
hubungan   ini,   Ibn   Khaldun   pun   menolak  keotentikan
hadis-hadis  tersebut,  tidak  dapat  dipercaya  riwayatnya.
Seperti  'Asim  dan Muhammad ibn Khalid adalah perawi-perawi
yang kontroversial dalam  penilaian  kaum  Muhaddisin.5  Dan
masalah  Mahdiisme ini, Ibn Khaldun tampak lebih menonjolkan
teori  al-'Asabiyyah-nya  .  Ia  berpendapat,  bahwa  dakwah
Mahdiyyah  tidak  dapat  ditegakkan  tanpa disertai semangat
fanatisme   yang   kuat   (al-'Asabiyyah)   sehingga   Allah
memberikan   pertolongan-Nya,   sebab   tanpa  kekuatan  dan
fanatisme (idealisme perjuangan) tidak banyak terwujud.6
 
Adapun bagi pihak-pihak yang memandang hadis-hadis Mahdiyyah
sebagai   otentik,   pada   umumnya  analisis  mereka  hanya
didasarkan pada satu aspek saja, yaitu ilmu  hadis,  seperti
ilmu   Mustalah   Hadis;   ilmu   Rijalul-Hadis,   dan  yang
semisalnya. Akan tetapi keotentikannya tidak  didukung  oleh
keobyektifan  sejarah,  terutama sejarah kaum Syi'ah. Mereka
tidak menyadari siasat kaum Syi'ah  yang  selalu  mengisukan
paham  Mahdi  dalam  perjuangan  politiknya,  sehingga dapat
membentuk  opini  masyarakat  dengan  menyebarluaskan   atau
mengekspos hadis-hadis Mahdiyyah. Dengan demikian pengamhnya
sangat luas dan diserap oleh pelbagai sekte dalam Islam. Dan
bahkan  sementara  ahli-ahli  hadis sendiri ada yang menilai
keotentikannya, hanya dengan mengukur banyaknya  orang  yang
meriwayatkan  hadis-hadis  Mahdiyyah  tersebut.  Sebagaimana
diketahui, kaum Syi'ah yang berpusat di Irak banyak  membuat
hadis-hadis  palsu  (maudu'),  sehingga  tidak  mustahil  di
antara hadis-hadis  Mahdiyyah  itu  adalah  ciptaan  mereka,
mengingat banyak materi hadisnya yang kontroversial.
 
Memang  tepatlah  apa  yang dinyatakan oleh al-Maududi bahwa
apabila hadis-hadis Mahdiyyah ini dilihat lebih cermat, maka
akan  terdapat  dalam  sanad-sanad  (urut-urutan  orang yang
meriwayatkannya), banyak segi yang  melemahkan.  Diantaranya
terdapat berbagai ikhtilaf (pertentangan) yang jelas tentang
materi hadis itu sendiri. Kedua, partai-partai politik  yang
terlibat  dalam  perselisihan  di awal sejarah Islam, mereka
berusaha menebarkan hadis-hadis Mahdiyyah untuk  kepentingan
dan  tujuan  politik  masing-masing  golongan. Sebab, banyak
perawi hadis yang terlibat dalam  kegiatan  politik  praktis
saat itu.7 Selanjutnya pendapat Syaikh Muhammad Darwisy yang
dikutip oleh H. M.  Arsyad  Talib  Lubis,  menyatakan  bahwa
hadis-hadis  Mahdiyyah  adalah lemah (da'if) seluruhnya, tak
ada yang dapat dijadikan pegangan, dan janganlah  terperdaya
oleh orang yang mengumpulkannya dalam berbagai tulisan.8
 
Adapun   faktor-faktor  yang  melatarbelakangi  terbentuknya
paham Mahdi, dapat dilihat dari  dua  aspek  yaitu:  Pertama
aspek  politis  dan kedua aspek teologis. Pada aspek politik
bermula dari kegagalan-kegagalan kaum Syi'ah secara beruntun
untuk  memperoleh  kekuasaan politik. Kekecewaan mereka yang
paling dalam, berawal dari tidak terpilihnya  'Ali  ibn  Abi
Talib   sebagas  Khalifah  pertama.  Kemudian  disusul  oleh
kegagalan politik 'Ali dalam menghadapi pembelotan Mu'awiyah
yang  melahirkan  tahkim  atau  arbitrase, sehingga Khalifah
'Ali  menjadi  korban  kekerasan  politik   kaum   Khawarij,
sekalipun saat itu secara doktrinal Syi'ah belum lahir.
 
Pemikiran  tentang  al-Mahdi,  semula  bersumber dari aliran
Syi'ah, dan  terbentuknya  pemikiran  ini,  semenjak  mereka
kehilangan   kekuasaan  politik  yang  berpindah  ke  tangan
Mu'awiyah, sesudah  terbunuhnya  Khalifah  'Ali.  Penyerahan
kekuasaan  oleh  Hasan  ibn  'Ali kepada Mu'awiyah, kemudian
disusul oleh kematian Husain di  padang  Karbela,  merupakan
saat-saat  yang  mempercepat  proses  terbentuknya pemikiran
tersebut.
 
                                            (bersambung 2/4)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team