Diplomasi Munafik ala Yahudi
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel

Paul Findley
(mantan anggota Kongres AS)

TIGA BELAS
LOBI ISRAEL

Pengaruh Israel terhadap pemerintah AS telah menjadi legenda, terutama disebabkan oleh apa yang disebut lobi Israel. Meskipun ada suara-suara yang berusaha untuk mengecilkan kekuatannya, sesungguhnya semua politisi, orang-orang di balik pemberitaan, dan orang-orang lain yang telah berhadapan dengan lobi itu membuktikan pengaruh yang luar biasa besarnya dari para pendukung Israel di Kongres dan dalam perumusan kebijaksanaan luar negeri AS. Di antara begitu banyak kelompok pro Israel, tidak ada yang diorganisasi secara lebih baik, lebih aktif, atau lebih kuat dibanding AIPAC, Komite Urusan Publik Israel-Amerika, lobi utama yang mendukung Israel di Amerika Serikat sejak 1951.1 Pengaruhnya pada Kongres sangat besar sehingga selama lebih dari dua dasawarsa Israel dapat menikmati tingkat bantuan keuangan yang luar biasa dan keuntungan-keuntungan istimewa, yang kesemuanya diberikan hanya melalui sepatah kata dalam diskusi serius. AIPAC menjadi sasaran iri hati lobi-lobi lainnya karena aksesnya yang sangat mudah ke tingkat-tingkat pemerintahan tertinggi.2 Kini AIPAC mempunyai anggaran belanja tahunan $15 juta, kira-kira lima puluh ribu anggota pemberi iuran, dan, selain markas besarnya di Washington, D.C., beberapa kantor lain di delapan kota. Dukungannya terhadap seorang kandidat politik biasanya mendatangkan sumbangan-sumbangan dari hampir seratus komite aksi politik pro Israel di seluruh negeri.3


OMONG KOSONG

"Dalam analisis terakhir, kepentingan pribadilah yang mendukung hubungan dekat AS-Israel, dan bukan dijalankannya kekuasaan mentah oleh kelompok lobi mana pun." --Wakil Rakyat Stephen J. Solarz, Demokrat dari New York, 19854

FAKTA

New York Times melaporkan pada 1987 bahwa AIPAC "telah menjadi kekuatan utama dalam menyusun kebijaksanaan Amerika Serikat di Timur Tengah... Organisasi ini telah meraih kekuasaan untuk mempengaruhi pemilihan kandidat presiden, menghalangi praktis setiap penjualan senjata ke sebuah negara Arab dan bertindak sebagai katalisator bagi hubungan militer yang erat antara Pentagon dan angkatan bersenjata Israel. Para pejabat puncaknya dimintai nasihat oleh Kementerian Luar Negeri dan para penyusun kebijaksanaan Gedung Putih, para senator, dan jenderal." Laporan Times itu menyimpulkan bahwa AIPAC "telah menjadi sasaran kecemburuan para pelobi yang saling bersaing dan kecaman para ahli Timur Tengah yang ingin menguatkan ikatan dengan bangsa-bangsa Arab pro Barat."5

Satu tahun kemudian, seorang wartawan lepas Eric Alterman menyelidiki AIPAC dan sampai pada penilaian yang sama. Dia melaporkan: "Tak diragukan lagi, AIPAC adalah lobi etnis paling kuat dalam sejarah Amerika belakangan ini. Dapat dikatakan bahwa, sesungguhnya, ia merupakan lobi Washington paling kuat di antara semua lobi lainnya... pengaruh AIPAC dapat dirasakan bukan hanya di Capitol Hill tetapi juga di Gedung Putih, Pentagon, kementerian luar negeri, kantor perbendaharaan negara, dan sejumlah kantor lainnya. Dan pengaruhnya tidak tergantung pada bantuan dari suatu pemerintahan yang bersahabat; lebih sering, justru sebaliknyalah yang terjadi."6

Kathleen Christison, mantan analis CIA, menulis pada 1988: "Di bawah [Presiden] Reagan, AIPAC telah menjadi mitra dalam penyusunan kebijaksanaan... Komite Urusan Publik Israel-Amerika itu telah menyusup sedemikian jauh di Gedung Putih dan juga di Kongres sehingga mustahil untuk memastikan di mana tekanan lobi itu akan berhenti dan pemikiran presiden yang independen dimulai."7


OMONG KOSONG

"Mitos lainnya berkaitan dengan besarnya pengaruh [AIPAC] dan kedigdayaannya yang banyak diyakini orang." --I.L. Kenen, seorang pendiri AIPAC, 19818

FAKTA

AIPAC meraih tingkat kekuasaan dan pengaruh yang baru pada tahun-tahun pemerintahan Reagan. Kekuatannya telah tumbuh demikian pesat sehingga koresponden-veteran Hedrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa ia merupakan suatu "superlobi... AIPAC berhasil mengembangkan kekuatan politik yang begitu besar sehingga pada 1985, AIPAC dan sekutu-sekutunya dapat memaksa Presiden Reagan untuk mengingkari perjanjian pembelian senjata yang telah disepakati bersama Raja Hussein [dari Yordania]. Pada 1986, lobi pro Israel itu berhasil mencegah Reagan membuat kesepakatakan pembelian jet tempur dengan Saudi Arabia; dan Menteri Luar Negeri George Shultz harus duduk bersama Direktur Eksekutif AIPAC --bukan para pemimpin kongres-- untuk menentukan sejauh mana penjualan persenjataan kepada Arab Saudi masih dapat diterima AIPAC. "9

AIPAC begitu mendominasi pemerintahan Reagan sehingga Direktur Eksekutif AIPAC Thomas A. Dine melaporkan pada konferensi kebijaksanaan tahunan AIPAC kedua puluh tujuh pada 1986 bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan Israel tidak pernah sebaik ini sebelumnya --dan, secara implisit, itu berarti juga hubungan dengan AIPAC.10 Dine mengatakan bahwa dalam proses perkembangan itu "seluruh jumlah pemilih baru yang mendukung Israel tengah dibangun tepat di wilayah di mana kita paling lemah --di antara para pejabat pemerintahan di negara bagian, di departemen-departemen perbendaharaan negara dan pertahanan, di CIA, di agen-agen ilmu pengetahuan, perdagangan, pertanian, dan di agen-agen lainnya."

Dia menambahkan bahwa Presiden Reagan dan Menteri Luar Negeri Shultz adalah dua sahabat terbaik Israel dan akan "meninggalkan suatu warisan yang penting artinya bagi keamanan Israel selama dasawarsa-dasawarsa mendatang." Shultz, katanya, telah bersumpah padanya "untuk merintis persetujuan-persetujuan institusional sehingga delapan tahun dari sekarang, jika ada seorang menteri luar negeri yang tidak bersikap positif terhadap Israel, dia tidak akan mampu mengatasi hubungan birokratis antara Israel dan AS yang telah kita bangun kini."11

Di kemudian hari pada 1986, mantan staf AIPAC Richard B. Straus menulis di The Washington Post bahwa "kebijaksanaan Timur Tengah Amerika telah berubah demikian dramatisnya dengan berpihak pada Israel" sehingga kini hal semacam itu hanya dapat dilukiskan sebagai suatu "revolusi." Dia mengutip Dine yang mengatakan bahwa hubungan istimewa itu "merupakan suatu kemitraan yang mempunyai dasar luas dan mendalam, yang berkembang dari hari ke hari menuju suatu aliansi diplomatik dan militer sepenuhnya." Straus menambahkan: "Para pendukung negara-negara Arab di Kementerian Luar Negeri mengakui bahwa kepentingan-kepentingan Arab hampir tidak pernah dijadikan bahan dengar pendapat di Washington sekarang ini. 'Biasanya kami mempunyai dua jalur kebijaksanaan,' kata seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri. 'Kini hanya kepentingan-kepentingan Israel yang dipertimbangkan."12

Dalam kenyataannya, hubungan itu menjadi demikian eratnya di masa pemerintahan Reagan sehingga tidaklah luar biasa jika para pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri dan Dine dari AIPAC membahas secara pribadi isu-isu kebijaksanaan Timur tengah dan cara menanganinya di Kongres.13 Dine bahkan menerima telepon pribadi dari Presiden Reagan yang mengucapkan terima kasih kepadanya secara pribadi atas dukungan AIPAC dalam mencapai persetujuan kongres untuk mempertahankan Angkatan Laut AS di Lebanon pada 1983.14 AIPAC diberitahu dua belas jam sebelum Asisten Menteri Luar Negeri untuk Permasalahan Timur Dekat Richard Murphy mengetahui tentang keputusan pemerintahan Reagan tahun 1984 untuk membatalkan penjualan persenjataan kepada Yordania dan Saudi Arabia.15

Hubungan itu mendingin pada masa pemerintahan Bush, namun tidak sepenuhnya. Menteri Luar Negeri James A. Baker III memanggil Dine guna meminta bantuannya dalam upaya pemerintah untuk meyakinkan Israel agar menunda tuntutannya atas $10 milyar dalam bentuk garansi pinjaman pada 1991. Dine menolak permintaan itu.16


OMONG KOSONG

"Tidak ada justifikasi bagi penjualan pesawat yang paling canggih dari gudang senjata Amerika kepada Saudi Arabia." --AIPAC,198917

FAKTA

Saudi Arabia patut mendapatkan apa pun yang dibutuhkannya untuk membela diri. Nilai dari hubungan istimewa Amerika yang erat dengan kerajaan itu, yang dikembangkan selama lebih dari setengah abad, sudah terbukti setiap hari ketika orang-orang Amerika mengkonsumsi minyak. Saudi Arabia, produsen utama dan penentu-harga minyak, juga sekutu yang strategis, sebagaimana terbukti secara dramatis pada 1990-1991 ketika pasukan dan pesawat Amerika menggunakan wilayah Saudi --bukan Israel-- untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait. Keuntungan lain yang tidak banyak diketahui dalam penjualan senjata-senjata ke Saudi Arabia adalah bahwa Riyadh membayar tunai, tidak seperti Israel, yang menerima senjata-senjata AS tanpa biaya --suatu tamparan bagi para pembayar pajak Amerika.

Meskipun AS berkepentingan untuk membantu Saudi Arabia demi pertahanan dirinya, Israel dan para pendukungnya secara terus-menerus telah menentang penjualan senjata ke kerajaan tersebut. Tentangan terhadap proliferasi senjata-senjata itu dapat diterima seandainya Washington mempunyai program kontrol persenjataan koheren yang diterapkan pada semua pihak. Namun dengan berulang kalinya terjadi agresi Israel dan tuntutan-tuntutannya yang tak henti-henti akan pasokan senjata-senjata AS, adalah suatu kemunafikan yang luar biasa di pihak Israel jika ia menentang penjualan senjata ke Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya pada saat yang sama sementara ia kekenyangan dengan persenjataan Amerika.

Pertikaian paling besar, paling lama, dan paling keras antara AIPAC dan Gedung Putih mengenai penjualan persenjataan terjadi pada 1981 ketika Presiden Reagan memutuskan untuk menjual lima buah pesawat AWACS (sistem kontrol dan peringatan udara) seharga $8,5 milyar kepada Saudi Arabia.18 AIPAC dan Israel memberikan tekanan pada para wakil kongres dan senator untuk menggagalkan persetujuan itu. Mereka hampir berhasil. Baru setelah melalui pertikaian panjang dan sulit pada akhirnya Reagan menang dengan suara Senat 52 berbanding 48. Ketika melakukan hal itu Reagan mengingatkan para perumus undang-undang dan negeri itu bahwa "perumusan kebijaksanaan luar negeri Amerika bukanlah urusan negara-negara lain."19

Pada akhirnya, seorang pengamat melukiskan pertikaian itu sebagai "salah satu [upaya lobi] paling keras yang pernah dialami Kongres."20 Namun sementara pemerintah berhasil memenangkan pertempuran, Israel dan AIPAC telah membuat suatu ketentuan keras: jika pemerintah menghalangi keinginan-keinginan Israel, ia harus membayar banyak dengan waktu, tenaga dn akhirya, gengsi politik. Bagi para perumus undang-undang pesan itu sama seramnya. Sebagaimana dicatat oleh Profesor Cherly A. Rurenberg, seorang kritikus yang berpandangan luas tentang hubungan AS-Israel: "Sejak itu cara seorang senator memberikan suaranya dalam masalah ini menjadi faktor paling penting dalam menentukan sikap lobi [Israel] tentang 'persahabatan' seorang individu dengan Israel. Mereka yang dicap 'tidak bersahabat' akan menghadapi masalah-masalah serius pada pemilihan kembali.21

Sesungguhnya, terutama dikarenakan dukungannya pada penjualan AWACS itulah maka Senator Republik yang sangat dihormati, Charles Percy, dikalahkan pada 1984. Setelah pemilihan, Thomas Dine dari AIPAC menyatakan: "Semua orang Yahudi di Amerika, dari pantai ke pantai, bersatu untuk mengusir Percy. Dan para politisi Amerika --mereka yang memegang jabatan publik sekarang, dan mereka yang berkeinginan untuk itu-- menerima pesan tersebut."22

Sejak kekalahan AWACS, AIPAC telah sepenuhnya berhasil memacu diri dan berkembang sangat pesat. Hendrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa "anggarannya berlipat delapan kali (mencapai $6,1 juta) dalam waktu sembilan tahun, keanggotaannya berlipat dari sembilan ribu rumah tangga pada 1978 menjadi lima puluh lima ribu pada 1987, stafnya bertambah dari dua puluh lima menjadi delapan puluh lima. Menjelang pertengahan 1980-an, para pemimpinnya telah mengendalikan dana kira-kira $4 juta dalam bentuk sumbangan-sumbangan kampanye untuk para kandidat yang bersahabat dan hukuman bagi lawan-lawan politik."23

Sebagaimana dikatakan Dine: "Pertikaian AWACS merupakan sebuah titik penting. Kita kalah dalam pemilihan suara namun memenangkan isu itu."24


OMONG KOSONG

"Sewaktu membutuhkan informasi mengenai Timur Tengah, saya lega ketika mengetahui bahwa saya dapat bergantung pada AIPAC untuk mendapatkan bantuan profesional dan dapat dipercaya." --Senator Frank Church, Demokrat dari Idaho, 198225

FAKTA

AIPAC mempunyai berita paling cepat di Washington. Setiap wakil rakyat atau senator yang mengungkapkan keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang Timur Tengah segera dibanjiri dengan "dokumen-dokumen keadaan" oleh AIPAC.

Sebagaimana ditulis oleh Senator Demokrat Charles Mathias dari Maryland: "Ketika suatu masalah penting menyangkut Israel muncul di Kongres, AIPAC dengan pasti dan segera menyediakan untuk para anggota segala data dan dokumentasi, plus panggilan-panggilan telepon dan kunjungan-kunjungan pribadi jika diperlukan. Di luar itu, tanda-tanda keraguan atau tentangan di pihak seorang senator atau wakil rakyat biasanya akan mengundang banyak surat dan telegram, atau kunjungan-kunjungan dan panggilan-panggilan telepon dari para pemilih yang berpengaruh."26

Yang menjadi persoalan jika seseorang tergantung pada AIPAC untuk mendapatkan informasi adalah bahwa informasi itu pasti hanya berisi sudut pandang Israel. Terbitan-terbitannya cenderung pada judul-judul ilmiah seperti US-Israel Free Trade Area: How Both Sides Gain, dan semua itu dipenuhi oleh catatan-catatan kaki dan kutipan-kutipan dari karya-karya akademis. Namun pembaca tidak dapat mengingkari fakta bahwa semua itu jelas dimaksudkan untuk mendukung kepentingan-kepentingan Israel.

AIPAC juga mengawasi Near East Report, sebuah surat kabar mingguan yang dibaca oleh kira-kira enam puluh ribu orang dan dikirimkan gratis pada semua anggota Kongres, pejabat-pejabat tinggi pemerintah, para akademisi, dan banyak wakil media. Meskipun surat kabar itu secara hukum terpisah dari AIPAC, ia didirikan oleh Sy Kenen, salah seorang pendiri AIPAC, dan secara ketat mengikuti jalur kebijaksanaan Israel. Secara teratur ia mencetak kisah-kisah tentang pola-pola pemungutan suara para perumus undang-undang, dan dengan cara itu memperingatkan mereka bahwa suara-suara yang mereka berikan selalu dicatat, juga kecenderungan undang-undang baru yang mempengaruhi Israel.

Staf surat kabar itu juga menyebarkan sebuah lampiran bernama Myths and Facts, yang bermaksud menghalau "mitos-mitos" mengenai konflik Arab-Israel seperti keadaan para pengungsi Palestina. Lampiran itu disebarkan secara luas di kampus-kampus sebagai suatu "bantuan pelajaran" dan pada banyak sahabat Israel di kongres dan media.

AIPAC tidak membatasi aktivitas-aktivitasnya pada propaganda yang sah. Pada 1974 ia bergabung dengan Komite Yahudi Amerika dan kelompok-kelompok Yahudi lainnya untuk membentuk sebuah "pasukan kebenarari" guna menanggapi apa yang dinamakan propaganda pro Arab. Menurut wartawan penyelidik Robert L. Friedman, pasukan kebenaran itu berubah menjadi "semacam polisi pikiran Yahudi. Para penyelidik terkadang mahasiswa-mahasiswa Yahudi yang penuh semangat, terkadang sumber-sumber dengan akses ke agen-agen intelijen AS-dimanfaatkan untuk mengejar para pengecam Israel, baik Yahudi maupun non-Yahudi, di manapun mereka berada... Pidato-pidato dan tulisan-tulisan mereka dimonitor, demikian pula, dalam beberapa kasus, aktivitas-aktivitas profesional mereka lainnya. Dan mereka sering kali dituduh anti-Semit atau dicap sebagai Yahudi pembenci diri. Tujuannya adalah untuk menghalangi perdebatan mengenai Timur Tengah di kalangan komunitas Yahudi, media, dan akademisi, dikarenakan kekhawatiran bahwa kritik apa pun akan dapat melemahkan negara Yahudi."27

Itu hanyalah suatu langkah kecil dari pasukan kebenaran untuk membuat daftar hitam. Pada 1983, AIPAC menerbitkan The Campaign to Discredit Israel. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine menulis dalam kata pengantar bahwa pamflet itu diterbitkan sebagai suatu cara untuk mendapatkan "analisis yang lebih lengkap dan tepat" mengenai aktivitas anti-Israel. Meskipun begitu yang dikatakannya, pamflet itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah daftar hitam kuno.

The Campaign to Discredit Israel memuat daftar orang-orang Amerika seperti George Ball, mantan wakil menteri luar negeri yang kritis terhadap Israel, dan Alfred Lilienthal, seorang Yahudi anti-Zionis yang pada 1954 telah menulis sebuah buku yang berisi peringatan tentang hubungan AS-Israel: What Price Israel? Secara keseluruhan, pamflet itu berisi daftar dua puluh satu organisasi dan tiga puluh sembilan individu "yang aktif dalam usaha untuk melemahkan ikatan antara Amerika Serikat dan Israel, yang berusaha untuk meningkatkan hubungan AS-Arab dengan mengorbankan Israel, atau yang memberikan pelayanan dengan imbalan kepada pemerintah negara-negara Arab yang tengah berjuang untuk mencapai cita-cita itu."28 Liga Anti-Fitnah dari B'nai B'rith juga menerbitkan daftar hitamnya sendiri yang dinamakan Arab Propaganda in America: Vehicles and Voices.

Ilmuwan Cheryl Rurenberg menuduh bahwa kedua pamflet itu menggunakan "teknik-teknik yang mengingatkan kita pada era McCarthy... mencap penentang mereka dengan label 'pro PLO.'"29 Dengan adanya reaksi terhadap daftar hitam yang begitu negatif, AIPAC mengurungkan rencana untuk menerbitkan versi tahunan yang telah diperbaiki. Sebagai gantinya, AIPAC memindahkan usaha-usahanya di bawah tanah. Ia terus memonitor individu-individu dan kelompok-kelompok "anti-Israel," namun menyebarkan hasil-hasilnya secara rahasia. Menurut Gregory D. Slabodkin, seorang ilmuwan muda yang pernah menjadi peneliti AIPAC: "Kini, pengungkapan-pengungkapan mengenai penulisan daftar hitam AIPAC dan taktik fitnahannya telah sampai pada aktivitas-aktivitas rahasia lobi pro Israel... AIPAC mengoperasikan suatu seksi rahasia di departemen risetnya yang memonitor dan menyimpan berkas-berkas tentang para politisi, wartawan, akademisi, aktivis Arab-Amerika, tokoh-tokoh liberal Yahudi, dan lain-lain yang dicapnya 'anti-Yahudi.' AIPAC menyeleksi informasi dari berkas-berkas ini dan secara diam-diam menyebarkan daftar mereka 'yang bersalah,' bersama kelakuan buruk politik mereka, ditunjang dengan pernyataan-pernyataan mereka, yang sering kali ada di luar konteks."30

Misalnya, Departeman Riset Rahasia memberikan kepada Steve Emerson, seorang wartawan penyelidik pro Israel untuk Cable News Network, informasi mengenai kolumnis Nation Alexander Cockburn, yang sering mengecam Israel, dan juga memberikan pada The Wall Street Journal informasi yang menghina tentang bankir Georgia, Bert Lance, dan kepentingan-kepentingan perbankan Arab. Sasaran-sasaran lainnya termasuk tokoh-tokoh Yahudi liberal seperti Woody Allen, Richard Dreyfuss, Rita Hauser, dan Barbra Streisand.31

Daftar hitam baru AIPAC adalah sebuah publikasi mingguan bernama Activities yang ditujukan untuk menyebut individu-individu dan kelompok-kelompok yang mengecam Israel. AIPAC berusaha menyembunyikan keterkaitannya dengan Activities, dengan memperingatkan para pembacanya agar memanfaatkan materinya "hanya dengan syarat bahwa AIPAC tidak dianggap sebagai sumbernya." Activities dibagikan pada staf regional dan AIPAC Washington, para pemimpin organisasi Yahudi utama, Dewan-dewan Hubungan Komunitas dan Federasi Yahudi di seluruh negeri, serta kedutaan besar Israel dan tokohtokoh Israel tertentu.

Seksi siluman AIPAC akhir-akhir ini diketuai oleh Michael Lewis, putra Orientalis Princeton University Bernard Lewis. Michael Lewis berbicara mengenai Activities: "Pada akhirnya, dari semua informasi yang disebarkan dari AIPAC, Activities barangkah yang paling banyak dicari, dibaca, dan dimanfaatkan untuk mendapatkan manfaat yang baik."32

Menurut Slabodkin, "manfaat yang baik" itu termasuk kampanye fitnah yang diusahakan untuk mencap para aktivis anti-Israel sebagai praktisi "anti-Semitisme baru" --pengecam kebijaksanaan-kebijaksanaan Israel. Slabodkin mengungkapkan bahwa Lewis secara harfiah menyimpan rapat-rapat di kantornya "beratus-ratus berkas mengenai orang-orang dan organisasi-organisasi yang dianggap AIPAC 'anti-Israel.' Di antara para politisi yang muncul dalam berkas-berkas semacam itu adalah mantan Kepala Staf, John Sununu, mantan Menteri Pertahanan pemerintahan Reagan, Caspar Weinberger dan Frank Carlucci, mantan Presiden Jimmy Carter dan mantan kandidat presiden Demokrat George McGovern, Pemimpin Minoritas senat Robert Dole, Senator Republik John Chafee, Tokoh Penggerak Mayoritas DPR David Bonior, dan Wakil Rakyat dari partai demokrat John Conyers, John Dingell, Mervyn Dymally, Mary Rose Oakar, Nick Joe Rahall, James Traficant, Jr., dan banyak lagi lainnya."

Bukan hanya para politisi itu saja yang disebut-sebut dalam koleksi dokumen Lewis. Para anggota media, penghibur, dan akademisi juga terdaftar dalam berkas rahasia AIPAC sebagai musuh-musuh Israel --bahkan Peggy Say, saudara perempuan dari mantan sandera Terry Anderson.


OMONG KOSONG

"Kami tidak pernah mengalihkan pemikiran untuk kepentingan Amerika dan dunia sementara terlibat dalam upaya untuk rnencapai cita-cita Israel yang aman." --Hyman Bookbinder, mantan wakil Komite Yahudi Amerika,198733

FAKTA

Sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, Israel merupakan satu-satunya isu yang dipedulikan oleh AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel yang membagi-bagikan uang. Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel.34

Presiden Richard Nixon mencatat dalam memoarnya: "Salah satu masalah besar yang saya hadapi... adalah sikap pro Israel yang pantang menyerah dan picik di dalam segmen-segmen yang sangat luas dan berpengaruh dari komunitas Yahudi Amerika, Kongres, media, dan di kalangan intelektual dan budaya. Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian."35

Keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya: "Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu." Dulles di kemudian hari berbicara tentang "kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres... Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini."36

Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.37 Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."38

Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres. Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel. Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.

Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama. Semua penerima itu adalah para pendukung kuat Israel. Enam belas orang yang sedang memegang jabatan di Senat menerima lebih dari $100.000 masing-masing dari dua sumber; di antara para penerimanya yang tertinggi adalah Carl Levin (Demokrat dari Michigan), $563.073; Paul Simon (Demokrat dari Illinois), $449.417; Tom Harkin (Demokrat dari Iowa), $344.650; Clairborne Pell (Demokrat dari Rhode Island), $225.811; dan Mitch McConnell (Republik dari Kentucky), $213.900. Penerima tertinggi dari Dewan adalah Mel Levine (Demokrat dari California), $89.779; Sydney R. Yates (Demokrat dari Illinois), $72.250; David R. Obey (Demokrat dari Wisconsin), $57.949; Ron Wyden (Demokrat dari Oregon), $53.340; dan Wayne Owens (Demokrat dari Utah), $52.450.39

The Wall Street Journal melaporkan bahwa delapan puluh PACs pro Israel membelanjakan $6.931.728 dalam pemilihan tahun 1986, yang menjadikan mereka penyumbang terbesar dari PACs di negeri itu. Yang kedua adalah makelar PACs sebanyak $6.290.108, disusul oleh Asosiasi Medis Amerika sebanyak $5.702.133 40 Telaah lain menunjukkan bahwa para senator yang memberikan suara yang mendukung perundang-undangan pro Israel pada 1985-1986 menerima rata-rata $54.223 dari PACs pro Israel; mereka yang memberikan suara sebaliknya menerima rata-rata $166. Para senator yang terpilih atau terpilih kembali pada 1986 menerima $1,9 juta dari PACs pro Israel, hampir tiga kali lipat dari yang mereka kumpulkan dari PACs semua kelompok ideologi lainnya.41

Seperti yang telah ditulis oleh pengarang Edward Tivnan: "Beberapa politisi Amerika yang ambisius tidak dapat memimpikan jabatan yang lebih tinggi tanpa mengharapkan uang Yahudi."42 Wakil Presiden Dan Quayle berkata: "Sebagai orang Amerika Anda mempunyai hak untuk menyuarakan dukungan Anda pada Negara Israel... Akses menuju proses politik bukanlah keistimewaan suatu kelompok. Itu adalah hak."43

Saat berlangsungnya perang 1973, terjadi suatu pertemuan menegangkan antara Laksamana Thomas Moorer, pemimpin Gabungan Kepala Staf, dan atase militer Israel Mordecai Gur. Gur menuntut agar Amerika Serikat memberi Israel pesawat-pesawat tempur yang dilengkapi misil anti-tank udara-ke-darat Maverick. Moorer menjelaskan bahwa Amerika Serikat hanya memiliki satu skuadron pesawat-pesawat semacam itu dan bahwa Kongres "akan mencak-mencak" jika yang itu diberikan. Moorer mengenang: "Gur berkata padaku, 'Anda dapatkan pesawat-pesawat itu; saya akan bereskan Kongres.'" Moorer menambahkan: "Dan dia berhasil. Saya belum pernah melihat seorang Presiden --saya tidak peduli siapa pun dia-- yang berani menentang mereka [orang-orang Israel]. Ini benar-benar memusingkan. Mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan."44

Contoh lain terjadi saat berlangsungnya perang yang sama ketika Israel merasa bahwa Amerika Serikat tidak menyediakan pasokan yang mencukupi baginya. Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Simcha Dinitz, mengancam Menteri Luar Negeri Henry Kissinger bahwa "jika sistem angkutan udara besar-besaran Amerika ke Israel tidak segera dimulai maka saya akan tahu bahwa Amerika Serikat mengingkari janji-janji dan kebijaksanaannya, dan kami harus menarik kesimpulan-kesimpulan sangat serius dari semua ini." Kalb bersaudara, yang banyak mewawancarai Dinitz untuk biografi mereka tentang Kissinger, memberikan penilaian atas perkataan ini: "Dinitz tidak harus menterjemahkan pesannya. Kissinger dengan segera memahami bahwa orang-orang Israel akan segera 'go public' dan bahwa akan timbul sentimen pro Israel yang akan berdampak sangat buruk terhadap pemerintahan yang memang telah lemah itu."45

Contoh intimidasi lainnya melibatkan Presiden Carter dan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Dayan. Dalam suatu pertemuan pada 1977 mengenai proses perdamaian, Carter tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan dan berkata: "Mari kita bicara politik." Carter mengakui bahwa dia berada dalam kesulitan politik dengan Kongres dan orang-orang Yahudi Amerika. Pengakuan naif ini memberikan pada Dayan suatu keuntungan perundingan yang penting. Dayan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967. Jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang." Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."46 Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.47

Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington. Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."48 The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."49

Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 milyar bagi Israel. Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi." Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."50

Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 milyar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel, Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan." Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.51 Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.

Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar.52 Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.

Catatan kaki:

1 Lobi itu pertama-tama dinamakan Dewan Zionis Amerika untuk Urusan Publik dan diubah namanya pada 1959. Untuk sejarah tentang Dewan Zionis Amerika dan evolusinya menjadi AIPAC, lihat Kenen, Israel's Defense Line, 106-7. Pada 1962-1963, wakil ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat J.W. Fulbright menyelidiki AIPAC dan berbagai kelompok yang berkaitan dengannya untuk melihat apakah AIPAC diharuskan untuk mendaftar sebagai agen luar negeri; tetapi tidak ada tindakan yang diambil. Lihat Kenen, Israel's Defense Line, 109.

2 Ada sejumlah telaah yang sangat bagus mengenai lobi Israel, di antaranya Ball, The Passionate Attatchment; Bookbinder dan Abourek, Through Different Eyes; Curtiss, A Changing Image dan Stealth Pacts; Feuerlicht, The Fate of the Jews; Halsell, Propechy and Politics; Isaacs, Jews and American Politics, Lilienthal, The Zionist Connection; Neff, Warriors for Jerusalem; O'Brien, American Jewish Organizations and Israel; Rurenberg, Israel and the American National Interest; Saba, The Armageddon Network, Smith, The Power Game; Tillman, The United States in the Middle East; Tivman, The Lobby.

3 Robert L. Friedman, Washington Post, rubrik Outlook, 1 November 1992.

4 Washington Jewish Week, 18 Juli 1985.

5 David K. Shipler, New York Times, 6 Juli 1987.

6 Eric Alterman, "Pumping Iron," Regardie's, Maret 1988.

7 Kathleen Christison, "Blind Sports: Official U.S. Myths about the Middle East," Journal of Palestine Studies," Musim Dingin 1988.

8 Kenen, Israel's Defense Line, 2-3.

9 Smith, The Power Game, 216.

10 Teks dari pidato Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations," terdapat dalam "Special Document;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1986,134-43. Juga lihat Robert G. Neumann, "1992: A Year of Stalemate in the Peace Process?" Middle East Policy, 1, No. 2 (1992).

11 Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations."

12 Richard B. Straus, Washington Post, 27 April 1986.

13 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 345-46; Smith, The Power Game, 221; New York Times, 24 Maret 1984; John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.

14 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 346.

15 Bernard Gwertzman, New York Times, 22 Maret 1984.

16 John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.

17 Davis, Myths and Facts, 266.

18 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; Smith, The Power Game, 220-24; Tivman, The Lobby, 135-61.

19 Tillman, The United States in the Middle East, 121.

20 A. Craig Murphy, "Congressional Opposition to Arms Sales to Saudi Arabia," American-Arab Afairs, Musim Semi 1988, 106. Suatu analisis yang bagus tentang kejadian itu terdapat dalam Smith, The Power Game, 215-20.

21 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; juga lihat Smith, The Power Game, 220-24.

22 Findley, They Dare to Speak Out, 113.

23 Smith, The Power Game, 216.

24 Tivnan, The Lobby, 163.

25 Dari surat perkenalan AIPAC, 1982, dikutip dalam O'Brien, American Jewish Organizations and Israel, 170.

26 Charles McC. Mathias, Jr., "Ethnic Groups and Foreign Policy;" Foreign Affairs, Musim Panas 1981.

27 Gregory D. Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby That Stiffles American Debate," Washington Report on Middle East Affairs, Juli 1992.

28 Amy Kaufman Goott dan Steven J. Rosen, The Campaign to Discredit Israel (Washington, D.C.: American Israel Public Affairs Committee, 1983). Publikasi AIPAC lainnya adalah The AIPAC College Guide: Exposing the Anti-Israel Campaign on Campus, 1984.

29 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 338.

30 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."

31 Robert L. Friedman, "The Israel Lobby's Blacklist," Village Voice, 4 Agustus 1992.

32 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."

33 Bookbinder dan Abourezk, Through Different Eyes, 81.

34 Transkrip dari perkataan David Steiner, 22 Oktober 1992; dapat diperoleh melalui Komite Anti-Diskriminasi Arab-Amerika (Washington D.C.).

35 Nixon, Memoirs, 481.

36 Transkrip dari percakapan telepon Dulles, dikutip dalam Neff, Warriors at Suez, 416.

37 New York Times, 31 Oktober 1954.

38 Tivnan, The Lobby, 253.

39 Charles R. Babcock, Washington Post, 26 September 1991.

40 John J. Fialka, Wall Street Journal, 24 Juni 1987.

41 Edward Roeder, News/Sun- Sentinel (Fort Luderdale, Florida): 28 Juni 1987.

42 Tivnan, The Lobby, 242.

43 John M. Goshko, Washington Post, 8 April 1992.

44 Findley, They Dare to Speak Out, 161.

45 Kalb, Kissinger, 475.

46 Quandt, Camp David, 129.

47 Brzezinski, Power and Principle, 108.

48 Rabin, The Rabin Memoirs, 232; Slater, Rabin of Israel, 186.

49 Washington Post, 11 Juni 1972.

50 Richard C. Gross, Washington Times, 8 April 1992. Kutipan-kutipan itu terdapat dalam Near East Report, 18 Mei 1992.

51 The Economist, 12 November 1992, 28.

52 Village Voice, 7 November 1992, 30.


Diplomasi Munafik ala Yahudi -
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel oleh Paul Findley
Judul Asli: Deliberate Deceptions:
Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship by Paul Findley
Terbitan Lawrence Hill Brooks, Brooklyn, New York 1993
Penterjemah: Rahmani Astuti, Penyunting: Yuliani L.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Dzulhijjah 1415/Mei 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
 
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | Pustaka Online Media

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.