Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Telah diterbitkan di Majalah FORUM

TRAGEDI KEMANUSIAAN

Imam B. Prasodjo
Dosen Sosiologi FISIP-UI

Di hari Minggu, 17 Mei 1992, Zlata Filipovic (13 tahun), remaja Sarajevo, Bosnia, menggoreskan pena dalam buku hariannya: "Sekarang pastilah sudah, pertikaian telah menghentikan belajar kami, menutup sekolah kami, dan mengirimkan kami semua ke tempat pengungsian, bukan ke kelas." Dalam buku hariannya, Zlata bersaksi bahwa "perang bukanlah lelucon. Perang benar-benar menghancurkan, membunuh, membakar, memisahkan, dan membawa kepedihan" (Zlata's Diary, 1994).

Tragedi kemanusiaan di Bosnia seperti baru saja melintas dari ingatan kita. Kini, tak disangka, kepedihan Zlata, dialami pula oleh ratusan ribu anak-anak dan remaja Indonesia. Saya pun teringat, wajah penuh kepedihan seorang anak muda di pengungsian Bau-Bau, Buton, yang saya jumpai di bulan Maret tahun lalu, yang termenung kosong mengingat semua saudaranya-Ayah, Ibu, dan empat kakaknya mati terbunuh dalam tragedi Idul Fitri di Ambon. Kini, pertikaian antar kelompok pun telah melebar. Wajah-wajah sengsara, apapun agama dan suku mereka, tersebar di kemah-kemah pengungsian di tiap gugusan utama kepulauan negeri ini.

Apa sebenarnya yang tengah terjadi di negeri ini? Berbagai kelompok yang sebelumnya hidup berdampingan tiba-tiba agresif, penuh kebencian, bersemangat saling membunuh secara massal. Di tengah kita membutuhkan penjelasan yang memadai, kita seperti seperti memasuki wilayah gelap karena studi tentang hubungan antar kelompok (etnik, ras, agama, dan kelas) di Indonesia memang tidaklah cukup. Bahkan sensus maupun berbagai survey seperti enggan memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan identitas kelompok. Selama Orde Baru, membahas masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), walaupun dalam forum-forum ilmiah sekalipun, dibatasi karena dikhawatirkan akan membahayakan kesatuan bangsa. Akibatnya, tatkala bangsa ini terkena musibah konflik horizontal yang bertubi-tubi, pemahaman yang baik sulit didapat.

Namun, untuk sementara, dapat dikemukakan bahwa perubahan sosial-ekonomi yang terjadi beberapa dasawarsa ini nampak jelas menghasilkan ketimpangan yang tajam di antara berbagai kelompok sosial. Kekuasaan yang sentralistis telah menghambat terjadinya distribusi yang lebih merata akan sumber-sumber ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Potensi ketegangan antar kelompok menguat tatkala satu kelompok secara mencolok lebih diuntungkan dibanding kelompok lain. Ketika garis batas antar kelompok menjadi semakin tegas akibat berbagai sekat yang terkonsolidasi menjadi satu, baik ekonomi, etnis, agama, atau letak geografis domisili masing-masing kelompok, maka masyarakat kita yang majemuk ini menjadi terfragmentasi secara keras. Dinding pemisah antara "kita" dan "mereka" menjadi semakin kokoh akibat langkanya "cross-cutting socio-economic linkages." Dinding pemisah ini cenderung lebih mengeras lagi karena justru dampak arus globalisasi yang melanda dunia saat ini bersifat paradoks, yakni di satu sisi memiliki efek penyeragaman (unifying effects), namun pada sisi lain menumbuhkan kuatnya kesadaran terhadap pentingnya identitas kelompok.

Tanpa disadari sepenuhnya, fragmentasi sosial yang terjadi ini ternyata menjadikan masyarkat kita sangat rentan. Bangunan masyarakat kita nampak benar-benar rapuh karena ternyata kelompok-kelompok sosial dominan yang tumbuh saat ini masih banyak yang berbasis pada ikatan-ikatan solidaritas yang bersifat mekanik (emosional), bukan solidaritas organik (fungsional/profesional). Kitapun melihat , ikatan-ikatan kelompok atas dasar suku, ras, dan agama tampak semakin mengkristal. Dalam keadaan semacam ini, bila terjadi gesekan-gesekan antar kelompok, maka otomatis wilayah konflik akan mudah meluas, menjalar ke mana-mana..

Dalam proses perubahan masyarakat Indonesia, ketegangan-ketegangan horizontal antara kelompok memang selalu terjadi Namun, sejak reformasi, nampak secara kualitatif terjadi masalah baru, baik akibat terjadinya proses redefinisi identitas maupun hubungan antar kelompok. Dengan jatuhnya kekuasaan otoritas Orde Baru, kebijakan publik untuk pertama kalinya harus dirumuskan atas dasar "kehendak rakyat" yang harus dinegosiasikan atau dipertarungkan. Akibatnya, identitas dan hubungan antar kelompok mengalami masalah. Pertanyaan yang muncul kemudian berkaitan dengan apa dan bagaimana identitas, aspirasi, dan kepetingan kelompok harus dirumuskan. Saat identitas terumuskan, maka perjuangan untuk menjadikan aspirasi dan kepentingan kelompok sebagai "kehendak bersama" (the common will) menjadi tak terelakkan. Bila intensitas persaingan antar kelompok berjalan jauh lebih cepat dibanding dengan pembangunan aturan main (institution building) yang disepakati bersama, maka tak mustahil terjadi sesemrawutan atau bahkan dapat mengarah pada chaos.

Namun penjelasan ini belum menyentuh mengapa suatu kelompok di kepulauan tertentu di negeri ini dapat melakukan pembunuhan massal (genocide) terhadap kelompok lain? Secara teoretis, hal ini hanya mungkin terjadi saat posisi kelompok pelaku dan kelompok korban berada dalam posisi tak seimbang (lengah), dan pelaku memiliki dorongan kuat akibat adanya anggapan bahwa korbannya "something less than fully human." Frank Chalk dan Kurt Jonasson (1990) mensinyalir bahwa pembunuhan massal dapat terjadi bila, pertama, didahului adanya kampanye dehumanisasi terhadap korban (misalnya kelompok korban dianggap tak berharga, membahayakan manusia lain, pendosa bejat dll), dan kedua, adanya otoritas yang terpusat. Bila hal ini benar, apakah yang sebenarnya terjadi di wilayah seperti Halmareha atau Sambas, yang jelas-jelas kita telah menyaksikan tragedi kemanusiaan pembunuhan massal yang luar biasanya sadisnya?

Pertanyaan seperti ini terus berkecamuk. Sementara itu, negeri kita, kini benar-benar tengah dihadapkan pada persimpangan jalan. Apakah kita akan selamat, ataukah kita akan bunuh diri bersama, masih menjadi tanda tanya besar. Yang jelas, kini terlalu banyak penderitaan sebagaimana dialami Zlata di Bosnia sana, namun tak terekam dalam catatan harian. Abad ini, agaknya merupakan abad pertarungan antara amarah dan hati-nurani.

Jakarta, 21 Januari 2000

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team