Kumpulan Artikel
Mengenai Perjuangan Aceh

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Kamis, 18 November 1999
Warga Non-Aceh Mulai Eksodus
 
 
Medan, Kompas
 
Tak tahan lagi menanggung penderitaan karena terus dicekam
rasa takut, sejumlah warga transmigran, terutama asal Pulau
Jawa, yang bertransmigrasi ke Aceh, kini mengungsi. Mereka
mengimbau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Komnas HAM
untuk menolong mereka.
 
"Kenapa selama ini LSM atau Komnas HAM tak pernah berpaling
kepada kami. Padahal hak asasi kami pun telah diinjak-injak,
senantiasa dalam ketakutan karena dianiaya," kata warga
transmigran Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) II Sumber Batu,
Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat di kawasan Terminal
Pinang Baris, Medan, Sumatera Utara, Rabu (17/11).
 
Keberatan nama-namanya disebut karena takut ucapannya bisa
membahayakan diri dan keluarga, para transmigran juga
mengimbau pemerintah untuk turun tangan membantu. Sebab,
ribuan jiwa lagi warga transmigran UPT II Sumber Batu tidak
bisa berangkat pulang ke daerah asalnya karena ketiadaan
biaya.
 
Disebutkan, para transmigran yang masih tinggal di lokasi,
benar-benar dalam ketakutan karena situasi keamanan sangat
mencekam. Di sana-sini terlihat kelompok orang-orang
bersenjata yang tak jarang menggertak dan menakut-nakuti
warga. Di lain pihak, tak seorang pun terlihat aparat keamanan
untuk minta perlindungan.
 
Menurut warga transmigran Kecamatan Kaway XVI itu, oleh
kelompok orang-orang bersenjata itu, mereka disuruh melakukan
Siskamling selama 24 jam. Kalau ada orang-orang tak dikenal
datang termasuk aparat keamanan, diminta supaya dilawan. "Mana
mungkin kami bisa melakukan itu. Kami ini 'kan tahunya hanya
bertani," kata warga transmigran lainnya. "Mereka sendiri
(maksudnya kelompok bersenjata itu-Red) berada di tempat lain,
atau tepatnya di belakang kami, sehingga seolah-olah kami
dijadikan tameng," tambahnya.
 
Apabila ada di antara mereka yang tidak patuh, tak ayal lagi
langsung dianiaya, bahkan ada yang dibunuh. Warga yang dibunuh
juga dituduh cuak (mata-mata aparat keamanan). Begitu juga
dengan kaum ibu yang dianiaya, dituding sering membantu
tentara.
 
"Padahal, sebagai pendatang dari Pulau Jawa, sejak awal kami
mengikuti adat dan budaya setempat. Apalagi kita sesama
muslim," ujar seorang warga transmigran yang berusia sekitar
70 tahunan, juga dengan suara pelan karena ketakutan.
 
Menangis
 
Cerita senada juga dikemukakan warga transmigrasi UPT IV
Seumeuneum Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat, yang
tiba sehari sebelumnya. Bahkan, ketika dalam perjalanan menuju
Medan, Minggu (14/11) malam, bus yang mereka tumpangi distop
massa di kawasan Kecamatan Kuta Fajar. Semua warga transmigran
diperintahkan turun dan diperiksa satu per satu, beberapa di
antaranya dipukuli.
 
"Saya sampai tujuh kali dipukul bagian kepala dengan tangan
dan kayu," kata Sutopo (61), yang mengaku berasal dari Desa
Kemecing, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah,
sambil memperlihatkan bekas luka dan benjolan di kepalanya.
 
Pada saat wawancara berlangsung, tiba-tiba datang seseorang
yang berusaha meluruskan keterangan Sutopo dan warga
transmigran dari UPT IV Seumeuneum lainnya. Menurut lelaki
tersebut, yang diduga asal Aceh, yang menyetop bus mereka
bukanlah kelompok bersenjata dari Aceh. Lelaki itu kemudian
disuruh pergi karena dianggap mencampuri urusan.
 
Namun, di luar dugaan, tiba-tiba para istri dan anak-anak
transmigran segera menyingkir dan menangis tersedu-sedu.
Mereka tampak ketakutan sekali. Sementara suami mereka setelah
menyadari apa yang terjadi, segera memohon-mohon agar bisa
dibawa ke kantor aparat keamanan, sebelum esoknya meneruskan
perjalanan pulang ke Pulau Jawa.
 
"Istri dan anak-anak kami takut Pak, karena kami bercerita
tentang keadaan di Aceh. Oleh sebab itu, tolonglah kami
diantar ke kantor polisi atau Komandan Rayon Militer
(Koramil)," ujar mereka kepada Kompas.
 
Keamanan dijamin
 
Jika warga transmigran dari Aceh Barat itu mengaku sering
diintimidasi sehingga terpaksa melarikan diri, tidak demikian
halnya dengan sejumlah warga transmigran dari kawasan
Kabupaten Aceh Utara, termasuk beberapa perantau dari Pulau
Jawa yang selama ini berjualan bakso dan jenis makanan lainnya
di Lhokseumawe dan sekitarnya. "Kami malah diminta tetap
tinggal di Aceh dan dijanjikan keamanan kami dijamin," kata
Ponidi (39) yang selama ini tinggal di Batuphat, Lhokseumawe.
Begitu juga pengakuan Suryadi (52) yang selama ini tinggal dan
bertani di kawasan Kuta Makmur.
 
Namun demikian, mereka tetap bertekad segera meninggalkan
Aceh. Sebab, isu akan terjadi perang besar 4 Desember 1999
nanti sudah merebak di mana-mana. Namun tak semuanya bisa
merealisasi tekadnya, antara lain karena ketiadaan biaya dan
mungkin juga ada di antaranya yang diancam untuk tidak pulang
ke daerah asalnya.
 
Terminal mulai ramai
 
Dari Banda Aceh dilaporkan, warga pendatang mulai meninggalkan
Aceh dalam beberapa hari terakhir. Gelombang eksodus itu
terlihat di terminal bus antarpropinsi Seutui, Banda Aceh, dan
Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar, Rabu (17/11).
 
Mereka membawa sejumlah peralatan rumah tangga, seperti kasur,
televisi, meskipun di antaranya mengatakan akan kembali lagi
ke Aceh. Beberapa di antaranya yang ditemui merasa waswas
terhadap kemungkinan terjadinya perang antara pihak Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dengan Tentara Nasional Indonesia. Mereka
mengaku juga tidak ada pihak yang mengancam untuk meninggalkan
Aceh.
 
"Siapa yang ngancam, kita baik-baik saja," kata M Thoib, warga
asal Boyolali yang telah menetap di Meulaboh, Aceh Barat. Dia
bersama istri dan beberapa anaknya ingin menumpang KMP
Sangiang di Malahayati dengan tujuan Belawan, Sumatera Utara.
Namun rencananya tertunda karena kehabisan tiket.
 
Sementara itu, sebanyak 21 KK (90 jiwa) warga transmigran asal
Kecamatan Geumpang, Pidie, diungsikan di kompleks transit
transmigrasi, Kanwil Departemen Transmigrasi, Aceh. Mereka
yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, meminta
kepada pemerintah segera membantu mereka kembali ke daerah
asal.
 
"Kami mengungsi karena situasi keamanan di tempat kami bekerja
tak terjamin. Daripada nyawa terancam, ya lebih baik pulang ke
kampung saja," kata Oking Narli (51), asal Tasikmalaya, Jawa
Barat. (sp/nj/smn)
 
http://www.kompas.com/kompas-cetak/9911/18/UTAMA/warg01.htm
© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team