Kumpulan Artikel
Mengenai Perjuangan Aceh

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Subject: [SP] TRAGEDI BANTAQIYAH: Ladang Pembantaian Baru di Aceh
Date: Sat, 07 Aug 1999 22:20:25 +0700
From: SiaR News Service <siar@minihub.org>
To: <milis-spiritual@egroups.com>
 
TRAGEDI BANTAQIYAH: LADANG PEMBANTAIAN BARU DI ACEH
 
Laporan Mukhtaruddin Yakub
(Wartawan Buletin NANGGROE, WALHI Aceh)
 
Pembantaian Itu
 
Saudah (21) tak mampu buka suara. Mulutnya kaku dan gemetaran
menatap gundukan tanah dari salah satu kuburan massal tanpa
nisan yang dibongkar Kamis (29/7) lalu. Jenasah-jenasah di dua
kuburan massal itu digali untuk dikuburkan kembali secara
islami. Ia menanti dengan harap-harap cemas kalau suami, ayah
serta iparnya berada di sana. Air bening tak kuasa dibendung
dan terus membasahi kelopak matanya. Ait matanya kian  deras
membaur dengan guyuran hujan. Putri bungsunya, Zubaidah yang
hari itu datang bersama saudara tertuanya, Karmila terus
merengek minta pulang untuk bertemu ayah tercinta.
 
Zubaidah, (1,5) menangis minta bertemu ayahnya. Putri ketiga
Saudah ini  tak henti-hentinya menanyakan ke mana sang ayah
pergi. Bocah seusia Zubaidah tak tahu apa yang sedang menimpa
orang tuanya. Ia meronta dalam gendongan ibunya seraya terus
menuntut bertemu ayahnya. Sementara Karmila (6,5) yang baru
saja didaftarkan di sebuah SD kawasan itu terpaku tanpa mampu
membaca suasana. Karmila mungkin sangat terpukul, karena
seminggu lalu ia baru saja dipapah ayahnya masuk sekolah.
Setiap berangkat dan pulang sekolah, Karmila senantiasa
dijemput sang ayah. Sekarang  entah siapa yang akan
menemaninya. Sejak peristiwa itu, Karmila bukan saja tanpa
teman, tapi juga kehilangan kesempatan bersekolah. Ia belum
diizinkan ibunya sekolah sebelum hari kemalangan berlalu.
 
Zubaidah dan Karmila adalah dua dari tiga bersaudara pasangan
Saudah-Samsuar. Kedua anak ini tidak saja kehilangan ayah,
tapi juga ditinggal pergi kakek dan paman tercinta. Bersama
Samsuar (27), Abdul Manaf (45), dan M. Ali (25), jadi korban
pembantaian Tragedi Bantaqiyah. Sementara korban lain yang
tewas M. Harun (18), Zubir (25), Usman bin Bantaqiyah (29), M.
Din (45), Tarmizi (32), M. Husen (42), Samin (28), Jamaluddin
(29), Suhaimi (35), M Amin M (32),  Jamalulhadi (27). Di
antara 32 korban, 17 orang warga Blang Beurandeh. Sisanya
masih penduduk pemukiman Beutong Ateuh.
 
Keluarga dekat Bantaqiyah bersama masyarakat menata kembali
kuburan massal itu. Peristiwa ini mengingatkan kembali
kebrutalan TNI pada masa pemberlakuan DOM. Ketika itu
masyarakat mendapatkan mayat-mayat ditindih begitu saja dalam
beberapa liang yang sangat sempit. Bantaqiyah dikubur bersama
anak dan 23 korban lainnya yang ditanam dalam sebuah liang
persis di belakang rumahnya. Sisanya 7 mayat ditanam di kaki
bukit sekitar 50 meter dari bangunan utama dayah Bantaqiyah.
 
Membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menggali kuburan massal
pertama. Para penggali harus hati-hati, karena posisi mayat
tidak beraturan dan kedalamannya hanya 50 cm. Sosok mayat itu
sebagian besar sudah mengelupas serta mengeluarkan bau tak
sedap. Rencana mengangkat mayat-mayat itu diurungkan, karena
kondisi sudah sangat mustahil dilaksanakan. Kedua kuburan
massal yang berada di belakang deretan bangunan darurat dayah
Tgk Bantaqiyah hanya diberi siraman air ritual sekaligus
ditutup dengan kaian kafan sebagai simbol tajhiz (memandikan,
menga- fani, mensalatkan, dan menguburkan).
 
Semula, dokter Puskesmas Babussalam merencanakan melakukan
otopsi dengan seizin keluarga korban. Namun rencana otopsi
akhirnya dibatalkan atas permintaan keluarga pula. "Untuk apa
lagi kita otopsi. Kami sudah rela, biarlah arwah mereka
istirahat dengan tenang," pinta Jamaluddin, Kepala Desa Blang
Beurandeh yang juga kehilangan seorang putranya.
 
Selain itu masyarakat juga menemukan 20 sosok mayat berserakan
di jurang-jurang sekitar kilometer 7 lintas arah Takengon,
Aceh Tengah. Namun masyarakat setempat hanya bisa menguburkan
10 dari 20 korban. Sisanya masih berada di jurang. Karena
kondisinbya sudah sangat membusuk, masyarakat tak mampu
melakukan penguburan. Kesepuluh mayat itu masih berserakan di
lintas Takengon-Beutong Ateuh.
 
Sementara itu 4 warga Blang Beurandeh dan 1 warga Blang Puuk
hingga saat ini belum ditemukan. Mereka adalah Tgk M. Din, 41,
M Janata, 28, M. Ali B, (35) Abdul Wahid (26) dan Saidi (38).
 
Misteri antara kematian Tgk Bantaqiyah, ganja dan GAM belum
terkuak juga. Tuduhan aparat keamanan terhadap suaminya
menanam ganja sama sekali tak beralasan. Menurut isteri
keduanya Aman Farisah, 32,  suaminya baru kembali ke Beutong
28 Mei 1999 lalu. Sedianya ayah 10 anak ini tak ingin lagi
menyeleng- garakan pengajian. Namun atas permintaan masyarakat
setempat, Tgk Banta akhirnya bersedia juga mengajar kembali
wwarga setempat. Setiap Jumat, penduduk setempat belajar Al
Quran dan kitab di sebuah balai utama hingga pecahnya
peristiwa berdarah itu.
 
Menurut Aman Farizah, kira-kira pukul 11.00 siang ratusan
personil TNI datang secara tiba-tiba seraya berteriak meminta
peserta pengajian berkumpul. Di sela perintah itu, aparat
melempari rumah penduduk dengan batu dan kayu sehingga membuat
mereka berlarian keluar. Peserta pengajian pun turun menuruti
perintah petugas. Aparat berteriak menanyakan Bantaqiyah
hingga pimpinan dayah itu keluar dari rumahnya.
 
Antara aparat dan Bantaqiyah sempat terjadi dialog, namun tak
ada yang tahu apa yang dibicarakan. Sementara pasukan lain
melepaskan tembakan membabi buta tanpa memberi aba-aba.
Bantaqiyah berteriak menyuruh warga tiarap. Rentetan peluru
memecahkan keheningan desa. Korban bergelimpangan, darah
muncrat dari tubuh korban. Satu-persatu mereka rubuh diterjang
peluru tajam jahanam. Mereka tewas bersimbah darah di dalam
pekarangan pesantren Bantaqiyah.
 
Beberapa saksi mata menuturkan, penembak Bantaqiyah bukan
pasukan pembantai 51 warga lain. Ia hanya sempat dikurung
pasukan  dari Aceh Tengah itu, namun ada tembakan dari arah
lain yang berhasil menewaskan Bantaqiyah. "Saya sangat
terpukul dengan Tragedi Bantaqiyah," ujar Camat Beutong, Drs.
Teuku Bantasyam Puteh.
 
Masyarakat memungut sosok mayat yang sudah tak utuh lagi pada
Senin dan Selasa berikutnya atau sehari setelah pembantaian
ini terbongkar. Korban seluruhnya rakyat sipil tak berdosa.
Tgk Bantaqiyah yang menjadi incaran mereka turut menjadi
korban bersama jemaahnya lainnnya. Bantaqiyah tewas setelah
tembakan ketiga. Sebelumnya, Tgk Banta -begitu panggilan
akrabnya- sempat dihantam dengan peluru jenis PSD 83 tetapi
tak mempan. Akhirnya ia dihantam dengan senjata anti personil.
 
Deretan daftar kuburan massal di Aceh bertambah panjang.
Setelah pembantaian pada masa DOM , Simpang KKA, kini lembah
Beutong Ateuh, 340 km barat Banda Aceh jadi cerita.
 
Pemukiman Itu
 
Pemukiman Beutong Atueh yang dihuni kurang lebih 800 kepala
keluarga itu terletak persis di antara himpitan pegunungan
Bukit Barisan. Daerahnya subur, cuma sayang sangat terisolir
dan terbelakang. Pekerjaan mereka selain bertani, mencari kayu
bakar di hutan. Pemukiman yang dibelah sungai penuh bebatuan
itu tercemar darah sudah. Tragedi pada hari Jumat (23/7) lalu
telah meremukkan jiwa rakyat di sana. Puluhan perempuan
kehilangan suami, tak kurang 25 orang yatim kehilangan ayah,
dan puluhan ayah kehilangan anak. Pembantaian ini baru
terungkap Minggu(26/7) setelah dilaporkan salah seorang warga
Beutong yang lolos ke kota kecamatan.
 
Beutong memang kerap jadi berita. Setelah kasus Tgk Bantaqiyah
dengan jubah putihnya akhir 1987, giliran kebun ganja heboh di
sana. Nah, setelah Bantaqiyah dibebaskan, lagi-lagi Beutong
menggores kisah.  Apakah karena Bantaqiyah? Tidak juga. Yang
pasti lembah itu telah tertumpahi darah putera-putera pemilik
sah bumi Aceh.
 
Menurut warga setempat, Tgk Banta bukan mafia ganja yang
dituduhkan ABRI selama ini. Kalangan masyarakat menyebut
Bantaqiyah seorang guru mengaji di Blang Beurandeh, tempat ia
mendirikan dayah (tempat kegiatan keagamaan). Di atas tanah
seluas 3,000 meter, Tgk Banta mendirikan sebuah masjid
sederhana. Di samping masjid ini dibangun sebuah balai besar
tempat pengajian berlangsung.
 
Bantaqiyah bersifat terbuka. Ia menerima siapa pun yang ingin
menuntut ilmu. Para tamu berdatangan dari hampir seluruh Aceh.
Mereka hanya beberapa hari menuntut ilmu yang kemudian kembali
ke tempat asal masing-masing.
 
Bantaqiyah menyelenggarakan tradisi puasa 7, 14, 40 dan 44
hari sebagai persyaratan menuntut ilmunya. Berbagai lapisan
masyarakat datang menimba ilmu dari Bantaqiyah. Bahkan menurut
kalangan dekat Bantaqiyah, salah seorang perwira Kopassus
pernah berlajar ilmu dari Bantaqiyah. Namun  tidak selesai
karena keburu dipulangkan ke markasnya.
 
Kasus Jubah Putih sempat menghebohkan Aceh pada tahun 1987
lalu. Saat itu Bantaqiyah nyaris ditangkap karena dianggap
menyebarkan aliran sesat. Namun kegiatan pengajian berlangsung
terus. Hanya saja jubah putih tak lagi memasuki kota.  Pada
akhir 1993, Bantaqiyah ditangkap dengan dalih memiliki kebun
ganja dan memperalat muridnya menanam ganja. Bantaqiyah
dituduh memasok ganja untuk membantu perjuangan GPK Aceh.
Bantaqiyah dijebloskan ke penjara hingga akhirnya divonis 20
tahun lewat UU Anti Subversi.
 
Kompleks dayah Bantaqiyah diapit perbukitan dan aliran sungai
jernih. Ia mendiami kompleks itu bersama dua isteri dan satu
menantunya. Istri pertama Nursiah, dikawini sejak 30 tahun
lalu. Dari isterinya ini Bantaqiyah dikarunia 8 anak. Isteri
keduanya Aman Farisah, berasal dari Bireun, Aceh Utara. Dari
isteri kedua, Bantaqiyah dianugerahi dua putra yang masih
bocah.
 
Perkampungan Beutong Ateuh berada di lembah layaknya setting
film The Killing Field yang tenar tenar itu. Daerah ini sulit
dijangkau masyarakat asing. Selain tanpa transportasi reguler,
untuk mencapai Beutong Atueh harus menempuh perjalanan panjang
selama 5-7 jam dari Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Itu pun jika
menggunakan kenderaan jenis jeep seperti Toyota Land Cruiser,
misalnya.
 
Jalan menuju ke Beutong Ateuh baru saja dibuka pemerintah
sekitar 10 tahun lalu. Medan lumpur, tanjakan tajam serta
ancaman jurang serta bebatuan cadas acap membahayakan
perjalanan. Masyarakat Beutong Ateuh jika ingin turun gunung
harus menunggu jadwal angkutan spesial dua hari sekali dengan
ongkos Rp 25.000 per orang untuk jarak tempuh 90 km.
 
Suhu dingin dan balutan kabut kadang kala membuat pengguna
jalan berpikir seribu kali kalau ingin ke Beutong. Belum lagi
ancaman binatang buas yang kerap mengintai manusia. Tapi,
anehnya bagi sebagian masyarakat Beutong, dalam suasana alam
yang menyeramkan itu, mereka berani jalan kaki hingga tiga
kali 24 jam untuk mencapai kota kecamatan.
 
Lintas jalan Beutong Ateuh-Meulaboh relatif lembab. Curah
hujannya sangat tinggi. Sewaktu-waktu bisa turun hujan yang
mengakibatkan terhambatnya perjalanan. Wartawan Nanggroe
bersama rombongan LSM dan pers dari Banda Aceh harus mandi
lumpur untuk menjinakkan medan dataran tinggi Bumi Teuku Umar
itu.
 
Puncak gunung Singgahmata dengan ketinggian 4,000 kaki dari
permukaan laut terkenal dengan medannya yang berat.
Singgahmata selalu dibungkus kabut dingin, jalan-jalan penuh
batu cadas serta jurang terjal. Di sisi lain perbukitan yang
rawan longsor akibat perambahan hutan besar-besaran pada
waktu-waktu sebelumnya.
 
Pada posisi 70 km dari Meulaboh itu, kami terpaksa istirahat
sambil menyantap makanan siang yang molor hingga pukul 16.00
WIB. Dengan kondisi gemetaran menahan dingin, satu persatu
bulir nasi disantap guna menaikkan suhu badan. Kopi panas atau
teh hangat sama sekali tak bisa dinikmati karena dikalahkan
oleh suhu yang bisa anjlok hingga 10 derajat celsius. Beberapa
kali mobil yang kami tumpangi kandas, dan nyaris tak mampu
melanjutkan perjalanan. Kehandalan mobil tak bisa diharapkan
jika tak ada mobil lain yang bisa membantu.  Tikungan tajam
ditemui hampir di sepanjang jalan. Setiap 500 meter terdapat
tikungan patah. Sepanjang perjanan, beberapa warga Beutong
Ateuh yang terlanjur mengungsi ke kota kecamatan ketakutan dan
lari ke hutan ketika mendengar deru mesin mobil.
 
Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan tiba di Blang
Beurandeh menjelang maghrib.  Disambut isak tangis dan
ratapan, rombongan dipandu menuju desa-desa sekitar. Seluruh
penduduk berebutan memberi kesaksian kepada tamu semalam itu.
 
"Kamoe hantem lee tinggai di sino, eunteuh jitimbak lom,"
(Kami tak mau lagi tinggal di sini, nanti ditembak lagi)
begitu lapor mereka sambil meraung.
 
Selesai meninjau, rencana pembongkaran kuburan diurungkan
hingga esok hari, Kamis (29/7). Rombongan disambut hangat
dengan secangkir kopi gunung beserta makan malam secara
meriah. Wajah-wajah sedih sedikit berubah mengguratkan harapan
ketika mereka tahu telah dikunjungi rombongan wartawan. Kami
sempat was-was bila para pembantai datang lagi dan aksinya tak
akan diketahui hingga tiga hari.
 
Kawasan Beutong hari itu telah dihuni aparat baru dari Gegana
Polri, Kelapa Dua Jakarta. Mereka mengawasi dengan curiga
setiap gerak-gerik masyarakat yang bisa-bisa ada kelompok
GAMnya. Jumlah mereka tidak kurang dari satu kompi. Mereka
didrop dari Jakarta melalui Aceh Tengah.
 
"Sebenarnya kami ingin cepat-cepat pulang, buat apa lama-lama,
kan kita rindu juga dengan keluarga," ujar salah seorang
prajurit.
 
Daerah ini kaya sumber daya alam. Masyarakat, di samping
berkebun, ada juga yang bertani meskipun tidak semeriah daerah
pesisir. Masyarakat Beutong Ateuh umumnya buta huruf. Di
antara ratusan KK hanya satu SD yang bercokol di kawasan ini.
Itu pun proses belajar mengajarnya berlangsung seadanya. Namun
kondisi ini tidak menyurutkan minat masyarakat setempat
menyekolahkan anaknya atau menuntut ilmu agama.
 
Selama ini satu-satunya pesantren yang ada hanya dayah
Bantaqiyah. Dayah ini dibangun dengan dana sekitar Rp 105 juta
dari anggaran Rp 400 juta sejak 1987 lalu. Dua tahun kemudian
Bantaqiyah turun ke kota menuntut status Aceh sebagai daerah
istimewa segera direalisasikan. Pasukan Jubah Putih -
begitulah  rombongannya dikenal - mengarak bendera merah
berlambang bintang bulan ke ibukota Aceh Barat.
 
Pesantren Bantaqiyah terletak di desa Blang Beurandeh. Desa
ini satu-satunya desa yang berada di seberang sungai. Penduduk
Blang Beurandeh lebih sedikit dibanding desa tetangganya.
Namun, Blang Beurandeh telah melahirkan seorang politisi
sekaligus pengacara handal Abdullah Saleh, SH yang sekarang
menjabat Wakil Ketua DPW PPP Aceh.
 
Bangunan rumah penduduk terlihat sangat bersahaja. Umumnya
berkonstruksi kayu tanpa sentuhan ketam. Luas rumahnya pun
hanya mampu menampung dua hingga tiga kamar berukuran 3x3
meter. Sumber air terjun yang ada di kawasan Beutong Ateuh
bisa dimanfaatkan untuk pembangkit litsrik tenaga air (PLTA).
Peralatan itu sebenarnya sudah didatangkan, namun hingga saat
ini masyarakat hanya memiliki lampu petromaks. Itu pun
dinyalakan hingga pukul 21.00 WIB. Jangan heran bila kawasan
ini masih gelap gulita.
 
Lembah Beutong sebenarnya strategis bagi daerah latihan
militer. Sumber air yang memadai dan jalur distribusi logistik
bisa didrop dari udara. Sekitar pemukiman terdapat dataran
tinggi yang subur, mampu menghidupkan mahluk apa saja. Tanaman
ganja pun bisa hidup sendiri tanpa perlu disemai. "Ganja
tumbuh sendiri di hutan, masa dituduh masyarakat yang tanam,
seperti yang dituduhkan kepada Tgk Bantaqiyah," bela T. Cut
Ali, tokoh masyarakat setempat.
 
Danrem 012/TU Kolonel Syarifuddin Tippe belum bisa memberi
keterangan lebih lanjut. Kepada Nanggroe, Tippe menyatakan
laporan yang ditulis di media massa berdasarkan laporan Kasie
Intel Korem 011/LW Letkol. Inf. Sujono. Pihaknya sudah
mengirimkan tim melakukan recheck bersama Danramil Beutong.
"Tapi saya belum terima laporannya," ujar Tippe. ***

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team